Page 19 - Janji Di Ujung Jarak (Season 1)
P. 19
“Aamiin. Sampai ketemu lagi, ya. Jangan sedih lama-lama.”
Aip tersenyum di tengah air matanya. “Iya. Selamat tinggal, Asep.”
“Selamat tinggal, Aip. Aku sayang kamu.”
Sambungan terputus. Aip menatap layar ponsel yang kini gelap. Perlahan, ia menurunkan ponsel
dari telinganya. Rasa kehilangan menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia tak bisa menahan isak tangis
yang akhirnya pecah. Air mata jatuh deras, membasahi pipinya.
“Aku bakal sabar nunggu kamu, Sep,” bisik Aip sambil memeluk lututnya erat. “Aku janji.”
---
Di Dalam Kereta
Asep duduk di kursi dekat jendela kereta, menatap pemandangan yang perlahan bergerak
menjauh. Ponselnya masih dalam genggaman. Dadanya terasa sesak, pikirannya penuh dengan
bayangan Aip. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan perasaannya berkelana.
“Maaf ya, Aip…” gumam Asep pelan. “Aku janji, aku bakal pulang secepatnya. Aku juga bakal
sabar nunggu kita bisa ketemu lagi.”
Asep menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Ia tahu perjalanan
ini adalah bagian dari impiannya, tetapi juga bagian dari ujian untuk perasaannya dengan Aip.
Di antara deru kereta yang melaju, hanya satu harapan yang ia genggam erat: Bahwa waktu dan
jarak tidak akan pernah memisahkan hati mereka.
---
Sepi yang Menyiksa dan Janji yang Ditunggu
Sejak kepergian Asep, hari-hari Aip terasa hampa. Meski kehidupan di sekolah berjalan
seperti biasa, ada sesuatu yang hilang dari rutinitasnya. Senyum yang biasanya terukir di wajahnya
kini lebih jarang muncul. Setiap pagi, ia membuka ponsel dengan harapan melihat pesan dari Asep,
tetapi yang ia temukan hanyalah layar kosong yang sepi notifikasi.
Kadang-kadang, di sela-sela kesibukannya, Asep masih sempat mengirim pesan singkat. Namun,
pesan-pesan itu tak lagi panjang seperti dulu.
Asep: “Hai, Aip. Maaf, aku sibuk banget hari ini. Kamu baik-baik aja, kan?”
Aip selalu berusaha membalas dengan semangat meskipun hatinya terasa kosong.
Aip: “Iya, aku baik-baik aja. Kamu jangan lupa istirahat, ya.”
Namun, lama-kelamaan, pesan dari Asep semakin jarang. Terkadang butuh berhari-hari untuk
mendapat satu balasan. Setiap kali ponselnya bergetar, hati Aip melonjak penuh harap, hanya
untuk kecewa ketika ternyata itu bukan pesan dari Asep.
Malam-malamnya semakin panjang. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar
sambil bertanya-tanya: Apa Asep masih memikirkan aku? Apa dia baik-baik saja?
Di tengah kesepiannya, Aip berusaha tegar. Ia selalu mengingat janji Asep, bahwa setiap tiga bulan
sekali mereka akan bertemu. Tapi semakin lama waktu berjalan, janji itu terasa semakin jauh.
---
Waktu yang Dinanti Tiba
Hingga suatu malam, ketika Aip hampir menyerah pada kerinduan yang menyiksa,
ponselnya bergetar di meja belajar. Ia segera meraihnya, jantungnya berdebar kencang saat
melihat nama “Asep” di layar. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu.
Asep: “Aip, aku pulang minggu ini. Aku bakal nemuin kamu.”