Page 18 - Janji Di Ujung Jarak (Season 1)
P. 18
Aip terdiam sejenak, hatinya berdebar kencang. Perlahan, ia mengangguk. “Boleh, Sep.”
Asep mendekatkan wajahnya, lalu dengan penuh kelembutan, mengecup kening Aip. Ciuman itu
singkat, tetapi penuh makna—sebuah janji, sebuah harapan, dan perasaan yang tak terucapkan.
Setelah itu, Asep tersenyum lembut. “Makasih, Aip. Aku nggak akan lupain kamu.”
Aip tersenyum tipis, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku juga nggak akan lupa sama kamu,
Sep.”
Mereka saling memandang sejenak sebelum akhirnya Aip berbalik dan melangkah masuk ke rumah.
Asep menatap punggung Aip hingga pintu tertutup perlahan. Dengan hati yang berat, ia
menyalakan motor dan pergi, membawa serta kenangan yang akan selalu ia simpan.
---
Janji di Ujung Telepon
Pagi itu, sinar matahari tampak suram meski langit cerah. Aip duduk di tepi tempat
tidurnya, menggenggam ponsel dengan erat. Perasaan berat menyelimuti hatinya. Hari ini adalah
hari kepergian Asep ke Jakarta untuk memulai pekerjaannya. Mereka masih berkomunikasi selama
seminggu terakhir, tetapi semuanya terasa berbeda. Asep sibuk menyiapkan berbagai keperluan,
sementara Aip berusaha tetap mendukung meski hatinya bergemuruh.
Ponsel Aip berdering. Nama “Asep” muncul di layar. Dengan tangan gemetar, ia menggeser ikon
hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
“Halo, Sep…” suara Aip lirih, nyaris bergetar.
“Halo, Aip. Kamu lagi apa?” tanya Asep di seberang sana. Suaranya terdengar berat, seperti
menahan sesuatu.
“Nggak lagi apa-apa,” jawab Aip pelan. “Kamu udah mau berangkat?”
“Iya, Aip. Keretanya sebentar lagi berangkat. Aku cuma mau pamit… maaf ya, aku nggak sempat
ketemu langsung,” suara Asep terdengar serak, penuh penyesalan.
Aip mencoba tersenyum meski air mata sudah menggenang di sudut matanya. “Nggak apa-apa,
Sep. Aku ngerti kok. Yang penting kamu jaga diri di sana, ya?”
“Iya, pasti. Kamu juga jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan, jangan begadang, dan…” Asep
terdiam sejenak, menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Jangan sedih-sedih, ya?”
Air mata mulai menetes di pipi Aip. Ia mengangguk, meski Asep tak bisa melihatnya. “Aku bakal
usahain, Sep. Tapi rasanya… berat banget.”
“Aku tahu, Aip. Aku juga ngerasa gitu,” suara Asep terdengar bergetar. “Tapi kita harus kuat,
kan? Aku janji, setiap tiga bulan sekali, aku bakal pulang. Aku pasti nemuin kamu.”
“Tiga bulan?” Aip mengulang janji itu sambil berusaha menenangkan dirinya. “Janji, ya?”
“Janji. Aku nggak akan lupain itu,” tegas Asep. “Kita bisa lewatin ini, Aip. Kita udah sejauh ini,
aku yakin jarak nggak bakal bikin kita berubah.”
Aip menutup matanya, membiarkan air mata jatuh lebih deras. “Aku percaya sama kamu, Sep.
Selama kamu baik-baik di sana, aku juga bakal jaga diri di sini.”
“Terima kasih, Aip. Kamu selalu bikin aku kuat. Meskipun jauh, aku bakal selalu ingat kamu.”
Aip menarik napas panjang, suaranya bergetar. “Aku juga bakal selalu inget kamu. Tiap hari.”
Terdengar keheningan di antara mereka, hanya suara napas yang saling bersahutan. Waktu seakan
berhenti, membiarkan mereka menikmati momen terakhir sebelum jarak memisahkan.
“Aip…” panggil Asep lembut. “Aku harus masuk ke kereta sekarang.”
“Iya, Sep…”suara Aip hampir tak terdengar. “Selamat jalan. Semoga semuanya lancar di sana.”