Page 27 - E-BOOK KULTUR JARINGAN (1)
P. 27
3.1 SEJARAH KULTUR JARINGAN
Sejarah perkembangan teknik kultur jaringan dimulai pada
tahun 1838 ketika Schwann dan Schleiden mengemukakan teori
totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom, dan
pada prinsipnya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap.
Teori yang dikemukakan ini merupakan dasar dari spekulasi
Haberlandt pada awal abad ke-20 yang menyatakan bahwa jaringan
tanaman dapat diisolasi dan dikultur dan berkembang menjadi
tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi
lingkungan dan nutrisinya. Walaupun usaha Haberlandt
menerapakan teknik kultur jaringan tanaman pada tahun 1902
mengalami kegagalan, namun antara tahun 1907-1909 Harrison,
Burrows, dan Carrel berhasil mengkulturkan jaringan hewan dan
manusia secara in vitro.
Kultur jaringan tanaman pertama kali berhasil dilakukan oleh
White pada tahun 1934. Menjelang tahun 1939, White melaporkan
keberhasilan pertama kultur kalus wortel dan tembakau. Pada tahun
1957, dipublikasikan suatu naskah kunci yang ditulis oleh Skoog dan
Miller di mana kedua pakar ini mengemukakan bahwa interaksi
kuantitatif antara auksin dan sitokinin akan menentukan tipe
pertumbuhan dan peristiwa morfogenik yang akan terjadi. Penelitian
mereka pada tanaman tembakau menunjukkan bahwa rasio auksin :
sitokinin yang tinggi akan menginduksi pembentukan akar,
sedangkan rasio sebaliknya akan menginduksi morfogenesis pucuk.
Namun sayangnya, pola respon demikian tidak berlaku universal.
Sementara manipulasi rasio auksin terhadap sitokinin telah berhasil
menginduksi morfogenesis pada berbagai taksa, kini sudah semakin
jelas bahwa berbagai faktor lain juga mempengaruhi kemampuan sel-
sel yang dikulturkan untuk berdiferensiasi menjadi akar, pucuk atau
embrio (Taji, 2006:1)
XI SMA/MA 18 KULTUR JARINGAN