Page 86 - ISLAM DAN AGRARIA TElaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam Dalam merombak Ketidakadilan Agraria
P. 86
merupakan respon atas kejadian di Orde Baru berupa pembebasan tanah
rakyat, baik oleh pemerintah maupun swasta yang disokong pemerintah,
baik untuk kepentingan umum maupun bisnis semata, namun tidak
disertai dengan ganti kerugian yang memadai.
Para ulama berpendapat bahwa pembebasan tanah dengan harga
yang tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak, tergolong
perbuatan zalim. Apabila pembebasan tanah tersebut dilakukan oleh
pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan menurut
syara’, dengan harga yang memadai, maka hukumnya boleh sekalipun
tanpa kesepakatan. Selanjutnya, apabila pembebasan semacam itu
diperuntukkan bisnis, maka keuntungan darinya adalah haram. Begitu
juga dengan penggunaan tanah yang dibebaskan dengan cara tersebut
bagi tempat ibadah, hukumnya tetap haram. Akan tetapi ulama
mengecualikan, apabila pihak yang menempati tanah tersebut tidak
mengetahui prosedurnya, maka hukumnya boleh.
Dua tahun berselang, ulama kembali merespon persoalan mengenai
agraria yang terjadi di tengah masyarakat. Melalui Muktamar NU yang
ke-30 di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 21 sampai dengan 27 November
tahun 1999, para ulama membahas mengenai hak atas tanah yang
pada waktu itu menjadi persoalan di kalangan masyarakat. Para ulama
memutuskan bahwa yang lebih berhak atas suatu tanah adalah orang
yang lebih dulu menguasai tanah tersebut dengan menunjukkan alat
bukti yang sah.
Pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada pemikiran para
ulama terdahulu, salah satunya dari Syaikh Abdullah bin Al-Husain bin
Abdillah Bafaqih dan Syeikh Muhammad bin Abi Bakr al-Asykhar al
Yamani. Beliau menyampaikan bahwa,
“bila seseorang membuka sebidang lahan dan telah menguasainya
selama bertahun-tahun, lalu ada orang lain yang mengklaim
seluruh lahan adalah miliknya, dan al-muhyi (orang yang
Perjuangan Islam dalam Penataan Struktur Agraria di Indonesia 69