Page 12 - KLIPINGBPPT10102019PAGI
P. 12
tahun terakhir. Jadi butuh dukungan banyak pihak termasuk di dalamnya pendanaan agar terus berlanjut. Sayang kalau berhenti sampai di sini," kata Soni dalam simposium internasional sumber daya alam untuk pengembangan obat di Jakarta, Rabu (9/10/2019).
Soni mengatakan, perjalanan pengembangan obat ini masih sangat panjang sekitar 10 tahun hingga 15 tahun lagi sampai kandidat obat ini resmi menjadi obat dan melewati serangkaian uji praklinis dan klinis.
Di sisi lain, Presiden juga sudah mengeluarkan instruksi presiden terkait pengembangan percepatan farmasi di Indonesia. Dukungan anggaran untuk meneruskan penelitian ini pun sangat diperlukan. BPPT berharap Kementarian Riset Pendidikan dan Teknologi (Kemristekdikti) serta Kementerian Kesehatan (Kemkes) bisa mendukung pendanaan terhadap riset lanjutan obat malaria.
Selama lima tahun terakhir, Japan International Cooperation Agency (JICA) telah mendanai hampir Rp 30 miliar untuk penelitian obat malaria ini. Bantuan tersebut berupa peralatan, infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.
Kepala Program Satreps BPPT, Danang Waluyo mengungkapkan, pencarian kandidat mikroba Actinomycetes Streptomyces dilakukan di lahan yang tidak tersentuh aktivitas manusia ataupun berhutan alami. Tim BPPT melakukan pencarian mikroba ke wilayah Jember, Jawa Timur (Jatim).
"Senyawa yang kita cari dari mikroba untuk bisa dilanjutkan menjadi obat harus melewati uji klinis dan praklinis. Hal ini untuk mengetahui efek samping dari kandidat obat yang dimaksud," ucap Danang.
Danang menambahkan, yang membedakan senyawa aktif BPPT dengan penelitian dari pihak lainnya untuk mencari obat antimalaria adalah sumber senyawanya.
"BPPT mendapatkan senyawa alami dari mikroba sedangkan yang lainnya mengembangkan obat anti malaria dengan senyawa sintesis atau senyawa buatan manusia," tandas Danang.