Page 31 - LOMBAJURNALIS
P. 31

di diketinggian 4.150 mdpl. Setelah itu, mereka menuju ke EBC kembali untuk selanjutnya mendaki menuju puncak Everest.
Dee Dee menuturkan, di kalangan pencinta alam, ada ungkapan bahwa mendaki ke puncak Everest sama dengan makan kue black forest. ’’Tidak bisa langsung. Dinikmati satu potong, satu potong, satu potong,’’ katanya. Dara kelahiran Jakarta, 4 Oktober 1993, itu mengatakan bahwa di setiap sesi mendaki ke puncak Everest, perlu ada istirahat. Supaya tidak stres, karena perjalanan menuju puncak sangat jauh.
Setelah berangkat dari EBC, lanjut Mathilda, mereka naik ke Advance Base Camp (ABC). Lokasinya berada di titik ketinggian 6.400 mdpl. Di ABC itu mereka sempat merasakan sebuah anomali. Umumnya pendaki memanfaatkan waktu istirahat dengan tidur. Supaya tubuh terasa segar dan siap melanjutkan pendakian.
’’Tetapi ini beda. Bangun tidur malah pusing. Seperti habis digebukin. Pokoknya, habis tidur malah babak belur,’’ ujar gadis kelahiran Jakarta, 26 September 1993, itu. Kondisi tersebut terjadi karena mereka tidur di titik yang memiliki kandungan oksigen rendah. Setelah mencapai ABC, Dee Dee dan Mathilda melanjutkan pendakian menuju puncak Everest. Sebelum mencapai puncak, mereka lebih dahulu melewati camp 1 atau yang biasa dikenal dengan sebutan North Col di ketinggian 7.000 mdpl. Kemudian, melanjutkan ke camp 2 (7.800 mdpl) dan menuju camp 3 (8.224 mdpl).
Di setiap camp itu mereka beristirahat di sebuah tenda kecil. Karena medannya miring, tendanya juga miring. Saat tidur pun, mereka juga harus miring. Namun, selama di camp-camp tersebut, Dee Dee dan Mathilda tidak lagi merasakan tidur yang menyengsarakan meski medannya miring. Sebab, mereka sudah dilengkapi tabung oksigen. Selama berjalan, mereka menghirup oksigen. Begitu pula ketika saat tidur, oksigen tidak pernah lepas dari hidung mereka. ’’Kalau saat tidur, tabung oksigennya ditaruh di samping,’’ jelasnya.
Mathilda menceritakan, perjalanan menuju puncak Everest benar-benar dimulai dari camp 3. Saat itu, sekitar pukul 21.00 waktu setempat, mereka dibangunkan dua pemandu yang berasal dari etnis Sherpa. Keduanya bernama Pemba Tenzing dan Pasang Tendi. Setelah terjaga, mereka bergegas melanjutkan pendakian. Dari foto yang mereka tunjukkan, kondisi masih gelap gulita. Medan yang mereka lalui malam itu berupa tebing. Meski sudah dilengkapi dengan oksigen, tidak berarti mereka sama dengan di daratan biasa.
’’Saya sempat mengira akan kolaps. Tetapi, ternyata oksigennya mampet,’’ jelas Dee Dee. Pagi harinya perjalanan menuju puncak Everest akhirnya berakhir dengan manis. Mereka berada di pucuk Gunung Everest bersama para pendaki lain dari penjuru dunia. ’’Pendakian lancar. Tapi, bukan berarti mudah. Untungnya, cuaca cerah dan dapat pendamping yang andal,’’ sambung Mathilda. Dia merasa bangga dan lega karena akhirnya bisa sampai puncak Everest.
Lantas, apakah motivasi mereka menjalankan misi seven summits tersebut? Mathilda mengatakan, sejatinya misi awal mereka ke puncak Gunung Carstensz Pyramid adalah penggantian tali. Kemudian, mereka melihat ada peluang untuk melakukan seven summits.
’’Kita juga termotivasi karena belum ada perempuan yang seven summits. Kenapa tidak sekalian saja seven summits,’’ jelasnya. Kemudian, tim WISSEMU langsung dibentuk sekaligus menyusun perencanaan. Termasuk urutan puncak gunung yang akan ditaklukkan.


































































































   28   29   30   31   32