Page 22 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945 Terbaru
P. 22
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto (2011: 187) mengemukakan bahwa pertempuran di
Surabaya tidak lepas dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu
usaha perebuatan kekuasaan dan senjata dari tangan jepang yang
dimulai pada tanggal 2 September 1945. Perebutan kekuasaan dan
senjata ini membangkitkan suatu pergolakan sehingga berubah
menjadi situasi revolusi yang konfrontatif Berita akan mendaratnya
tentara NICA pada tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya dikabarkan
pertama oleh Menteri peperangan Amir Syarifuddin dari Jakarta. Berita
itu menyebutkan tugas tentara sekutu di Indonesia, yaitu menyangkut
orang Jepang yang sudah kalah perang, dan orang asing yang ditawan
pada zaman Jepang. Menteri berpesan agar pemerintah daerah
Surabaya menerima baik dan menbantu tugas sekutu. Sikap politik
pemerintahan pusat tersebut sulit diterima rakyat Surabaya pada
umumnya. Rakyat Surabaya mencurigai kedatangan Inggris sebagai
usaha membantu mengembalikan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak
Surabaya (Sudiro dalam Dwiatmika, 2018: 48).
Inggris merupakan salah satu negara terkuat di dunia pastinya
tidak terima bahwa pejuang Surabaya telah membantai banyak
serdadunya, apalagi seorang Brigadir-Jendralnya juga tertembak mati.
Dalam kacamata mereka, pembantaian pasukan Inggris dilakukan
dengan cara yang brutal, bagian-bagian tubuh mereka dilempar ke
dalam sungai atau dicecerkan di pinggir jalan, belum lagi massa juga
membunuh warga sipil Belanda pada tanggal 28 sampai 29 Oktober
1945. Inggris merasa penghinaan kepada rakyat Surabaya dalam skala
besar seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Rakyat
Surabaya tahu mereka telah mengundang “badai”, tapi mereka cemas
juga saat “menanti badai.” Kecemasan ini semakin menjadi ketika
mereka tahu bahwa, atas desakan pemimpin nasional, musuh dibiarkan
memanfaatkan gencatan senjata untuk memperkuat diri.