Page 29 - Kumpulan jurnal Amorphophallus kelas A
P. 29
Keanekaragaman hayati tersebar luas keseluruh pulau besar yang terdapat di Indonesia seperti
Kalimantan, Sumatera, Papua, dan Jawa. Keanaekaragaman hayati tersebut memiliki banyak
biomolekul senyawa-senyawa organik yang jumlahnya tidak terhitung. Salah satu
keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia adalah tumbuhan Amorphophallus.
Amorphophallus adalah genus penting dalam keluarga Araceae karena memiliki nilai ekonomi
yang tinggi untuk berbagai keperluan, selain itu keanekaragaman tumbuhan ini sangat besar, baik
dari segi ukuran maupun bentuk. Genus ini termasuk dalam jenis tumbuhan yang jarang diketahui
atau bahkan memiliki kemungkinan menjadi langka. Beberapa spesies dari genus Amorphophallus
yaitu Amorphophallus decus-silvae, A. discophorus, A. annulifer, A. sagitarius, A. spectabilis, A.
campanulatus dan A. paeoniifolius.
Bunga bangkai biasanya tumbuh liar di daerah yang tidak terkena sinar matahari atau di daerah
yang lembab. Tumbuhan ini banyak ditemukan di hutan dan termasuk salah satu jenis umbi-
umbian yang dapat hidup tanpa pemeliharaan serta perawatan secara kontinyu. Salah satu spesies
Amorphophallus yang banyak tersebar di Indonesia adalah Amorphophallus sweg. Secara umum
umbi suweg memiliki karakteristik yang khas, berbentuk bulat, bagian atasnya berlekuk dangka
bekas tempat pangkal tangkai daun. Kenampakan umbi seperti mangkuk. Umbi suweg termasuk
umbi batang, merupakan perubahan bentuk dari batang yang berfungsi sebagai penyimpan
cadangan makanan (karbohidrat). Dengan demikian maka batang dan umbi menyatu dengan batas-
batas yang hampir tidak jelas. Ciri-ciri yang dimiliki oleh umbi batang tersebut antara lain terdapat
bekas pangkal pelepah daun serta mata tunas yang berguna untuk perkembangbiakan tanaman.
Umbi suweg terdiri atas kulit umbi dan daging umbi. Pada kulit terdapat mata tunas utama, tunas
anakan, tunas akar, akar aktif, dan akar mati. Kulit luar adalah lapisan kutikula yang berfungsi
sebagai pelindung daging umbi. Kulit umbi suweg selagi dipanen berwarna kuning muda dan jika
dibiarkan beberapa waktu di dalam tanah akan berwarna kuning kecokelat-cokelatan. Pada kulit
suweg melekat beberapa organ tanaman di bawah tanah, yaitu tunas tanaman, tunas akar, akar
aktif, dan akar yang telah mati. Bagian kulit umbi yang terkupas akan mengeluarkan getah licin
dan mengandung kalsium oksalat. Getah ini dapat menimbulkan rasa gatal di kulit.
Keberadaan bunga bangkai yang memiliki bau khas dapat mengundang beberapa jenis seranga
yaitu kumbang (Onthopagus sp.) dan Lalat bangkai (Lucilia sp.) yang datang pada saat bunga
bangkai mengeluarkan bau busuk bersamaan dengan matangnya bunga betina. Serangga tersebut
membantu proses penyerbukan yang selanjutnya akan berkembang menjadi buah. Buah dari bunga
bangkai tersebut menjadi makanan bagi burung kutilang (Pignonotus aurigaster), sehingga untuk
mempertahankan keberadaan bunga bangkai, burung kutilang sangat dibutuhkan sebagai agen
pemencar biji dari bunga bangkai tersebut (Jintan, dkk., 2015).
Bunga bangkai tumbuh tidak langsung terkena sinar cahaya matahari melainkan tumbuh
baik di naungan berbagai vegetasi disekitarnya. Vegetasi yang menjadi naungan bunga bangkai
berupa semak, perdu dan pohon. Vegetasi tersebut berperan penting dalam kelangsungan hidup
bunga bangkai, karena dengan adanya vegetasi, bunga bangkai dapat ternaungi sehingga faktor
iklim seperti suhu, curah hujan dan intensitas cahaya sesuai untuk pertumbuhannya
(Mulyati,2017).
Secara umum dapat dibagi menjadi dua sistem: tumbuh secara alami dan dibudidayakan
(Anil et al. 2011; Suja et al. 2012). Misalnya, Mutaqin dkk. (2020) menyebutkan tanaman suweg
yang tumbuh di Jawa Barat terdapat pada beberapa jenis agroekosistem, seperti pekarangan,
pekarangan, sawah. dan tepi tambak, serta tumbuh liar di ekosistem hutan.
Alasan pemanfaatan suweg oleh masyarakat sampai saat ini adalah karena manfaat yang
diberikan oleh umbinya. Berbagai tanaman umbi- umbian, termasuk umbi suweg, telah lama
dimanfaatkan oleh masyarakat pedesaan di Jawa Barat untuk berbagai keperluan. Misalnya saja
Wigna dan Khomsan (2011) ordo keagamaan. disebutkan bahwa berdasarkan sejarah ekologi,
dahulu umbi singkong pernah dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Circundeu -Cimahi, Jawa
Barat sebagai makanan pokok pengganti nasi. Hingga saat ini, kebiasaan mengonsumsi singkong
sebagai pengganti nasi masih ada di masyarakat Dusun Cireundeu- Cimahi, terutama oleh generasi
tua. Sama halnya dengan singkong, suweg pada masa lalu pada musim paceklik pernah dijadikan
sebagai sumber pangan penambah pangan pokok nasi. Namun berbeda dengan makanan singkong
di Cireundeu, saat ini suweg sudah tidak banyak dikonsumsi warga Desa Cisoka.
25