Page 64 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 11 AGUSTUS 2020
P. 64
tambah merajuk. Jawaban yang dilontarkan pun kembali membuat tersenyum. "Iku mau adegan
makmu klebon orong-orong. Sangkakno main ludruk ta. Ludruk ngunu tanggapane wes
dibatalno, Nak. (Adegan ibumu kemasukan serangga. Dikira main ludruk. Pementasan ludruk
sudah dibatalkan, Nak)," katanya.
Unggahan YouTube itu berasal dari akun milik Lupus Arboyo. Nama aslinya Kasuwanto. Tenar
disapa Cak Lupus. Di dunia seni, Lupus bukan orang baru. Dia dikenal luas di Kota Pahlawan.
Sebagai begawan seniman ludruk Surabaya.
Sejak pandemi Covid-19 merebak di Surabaya, pementasan seni mati suri. Pemkot melarang
segala jenis pertunjukan. Sebab, event tersebut bisa memicu kerumunan. Pemkot tidak mau
mengambil risiko.
Tak pelak, kondisi tersebut memukul pemasukan seniman tradisional. Cak Lupus salah satunya.
Sejak awal Maret hingga kini, pria 56 tahun itu sama sekali tidak manggung. Tak lagi merasakan
riuh tawa penonton. "Saya sebenarnya kangen. Namun, kondisi memang seperti ini," jelasnya
saat ditemui di rumahnya Sabtu (8/8).
Cak Lupus masih ingat betul. Terakhir dia manggung pada 11 Maret lalu. Kala itu, bermain ludruk
di Jalan Sidoyoso, Simokerto. Pertunjukan seni tersebut digelar Dinas Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) Surabaya. Bertajuk pertunjukan rakyat (pertura).
Selepas pertura, ada undangan lain. Pada April, dia diminta mengadakan pementasan ludruk di
Jakarta. Tepatnya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Berlanjut pada Mei. Grup ludruknya
mengisi kegiatan di Surabaya. Sayangnya, korona terus mengganas. "Semuanya dibatalkan,"
ucapnya.
Sejak saat itu, Cak Lupus dan seluruh seniman tradisional harus melewati masa-masa sulit. Ibarat
melewati terowongan gelap gulita yang tak diketahui di mana ujungnya. Rentetan pembatalan
show terus berlanjut.
Awalnya, dalam satu bulan minimal dia mendapatkan penghasilan. Memang tak seberapa.
Berkisar Rp 3 juta. Cukup untuk menyambung hidup. Sekarang penghasilan itu entah ke mana.
Sama halnya dengan kegiatannya mengajar kesenian tradisional. Sebelum korona merebak,
seminggu dua kali Cak Lupus memberikan keterampilan menabuh gamelan. Jumlah siswanya 35
anak. Mulai jenjang SMP hingga SMA.
Sayangnya, kegiatan itu terpaksa diliburkan. Sebab, latihan di masa pandemi tidak
memungkinkan. "Karena latihannya malam. Sekarang ada jam malam," paparnya.
Bapak tujuh anak itu terus berupaya bertahan. Satu-satunya asa adalah memakai uang tabungan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berkali-kali diambil, kini cadangan itu berangsur
menyusut.
Cara lainnya, pengeluaran ditekan. Ikat pinggang dikencangkan. "Untungnya, kami terbiasa
hidup sederhana," ucapnya sembari memandang istrinya, Noniyati.
Untungnya, Cak Lupus masih memiliki penghasilan tetap. Yaitu, sebagai guru ekstrakurikuler
(ekskul) kesenian di SMPN 9. Metode pengajaran tanpa tatap muka, namun lewat daring. "Jarene
wong Suroboyo bisa dicokot-cokot alot. Lumayan bisa bertahan," terangnya.
Pernah, keuangannya porak-poranda. Kebutuhan membengkak. Pendapatan minim. Yang deras
hanya pengeluaran. Tak ada jalan lain. Cak Lupus terpaksa menjual harta bendanya. Yaitu,
pompa air serta televisi. "Laku Rp 750 ribu," ucap Noniyati sembari tersenyum.
63