Page 415 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 415
SETARA INSTITUTE: PENGESAHAN UU CIPTAKER MODEL LEGISLASI TERBURUK
JAKARTA - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi Undang-
Undang (UU) oleh DPR dan Pemerintah dinilai sebagai bentuk penghambaan negara pada rezim
investasi. Undang-Undang tersebut sebenarnya belum tentu memandu perwujudan keadilan bagi
rakyat.
Direktur Eksekutif SETARA Institute for Democracy and Peace Ismail Hasani mengatakan, RUU
ini membuka laju investasi sekaligus menutup hati nurani. Sebab, seperangkat kebijakan dalam
banyak klaster justru mengingkari janji pemerintah untuk memperkuat daya saing pekerja, daya
saing ekologi, dan distribusi kemakmuran rakyat sebagai mandat Pasal 33 UUD 1945.
"Model pembahasan dan pengesahan yang sangat cepat dan tertutup dari partisipasi publik,
telah menjadi model legislasi di tengah pandemi. Pemerintah memanfaatkan situasi pandemi ini
untuk memuluskan kehendak politiknya, yang justru bukan untuk tujuan kemakmuran rakyat.
Bukan hanya aspek formil-nya yang bermasalah, aspek materiil dari RUU ini juga memunggungi
jaminan-jaminan hak konstitusional warga negara dan kewajiban konstitusional negara," ujar
Ismail Hasani dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).
Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, ada beberapa
persoalan kunci yang mendapat sorotan antara lain ketiadaan pengaturan lamanya perjanjian
kerja untuk waktu tertentu (PKWT) berpotensi menjadikan pekerja kontrak akan tetap menjadi
pekerja kontrak selamanya. Kedua, ketiadaan pengaturan mengenai outsourcing hanya akan
mereduksi hak-hak pekerja dengan berbagai ketidakpastian pengaturannya.
Ketiga, mekanisme pengupahan per-jam hanya semakin menurunkan tingkat kesejahteraan
pekerja. Kemudian, ketiadaan sanksi bagi pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum berdampak pada lemahnya daya paksa bagi pengusaha untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan pengupahan dalam RUU Cipta Kerja.
UU tersebut juga dinilai bakal membuka keran PHK yang sebesar-besarnya. Selain itu, ada
semangat mereduksi pelibatan masyarakat dalam upaya pengawasan dan pengontrolan
lingkungan hidup berkaitan dengan kegiatan usaha. "Skema persetujuan lingkungan
memperlemah upaya dalam pengawalan pelestarian lingkungan hidup," katanya.
Beberapa sorotan tersebut, kata Ismail, cukup untuk menjadi argumen bahwa negara melalui
RUU Cipta Kerja ini telah melembagakan pelanggaran hak konstitusional warga yang dijamin
dalam UUD NRI 1945, khususnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat
(2), hak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja (Pasal 28D) ayat (2), hak atas kepastian hukum dan keadilan (28 D ayat (1),
hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H (1), dan lain
sebagainya.
Atas berbagai hal tersebut, SETARA Institute menentang keras terhadap pengesahan RUU Cipta
Kerja dan mendesak agar Presiden Jokowi menggunakan hak konstitusionalnya dengan tidak
mengundangkan UU Cipta Kerja. Kemudian menindaklanjutinya dengan menerbitkan Perppu
pada sebagian klaster isu dalam RUU Cipta Kerja yang menjadi instrumen pelembagaan
pelanggaran hak konstitusional warga atau atas Perppu yang membatalkan keseluruhan isi dari
UU Cipta Kerja.
Selain itu, institusi Polri dan unsur keamanan lainnya diminta untuk menjamin aksi unjuk rasa
yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Apabila UU
ini diujimateriilkan, Mahakamah Konstitusi perlu menjadikan aspirasi publik sebagai basis
pertimbangan memutus konstitusionalitas norma dalam UU Cipta Kerja.
414