Page 76 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 02 JANUARI 2020
P. 76
Rancangan Omnibus Law yang di dalamnya mengubah aturan skema upah per
bulan menjadi per jam menimbulkan pertentangan konstitusi. Baik itu UUD 1945
maupun UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal pengupahan. Oleh
karenanya, buruh menolak skema upah per jam.
"Dengan ditetapkannya (skema upah per jam) itu, sudah dipastikan Indonesia tidak
lagi memiliki upah minimum sebagai jaring pengamanan kepastian upah," ujar Wakil
Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) utusan dari KSPI, Iswan Abdullah, di
Jakarta, Sabtu (28/12).
Adanya perubahan skema upah per jam, menurut Iswan, akan membuat
keberadaan UMP terkikis dan perlahan akan menghilang. Perusahaan dikhawatirkan
akan bersikap semena-mena atas upah yang diberikan pada pekerja. Kemudian
akan terdampak pada masyarakat miskin absolut.
Jaminan sosial yang diberlakukan atas adanya standar UMP, dipastikan akan
ditiadakan. Hal itu terjadi karena pengusaha merasa tidak lagi memiliki tanggung
jawab atas pembayaran jaminan sosial lagi.
"Kalau ini (upah per jam) berlaku, maka jaminan sosial akan hilang beban
perusahaan untuk membayar itu. Karena standarnya UMP," jelas Iswan.
Hal itu, Iswan mengkhawatirkan, akan ada defisit jaminan sosial yang berlaku di
Indonesia. Seperti BPJS Kesehatan. "Defisit BPJS Kesehatan karena pengusaha tidak
mendaftarkan pegawainya," tutup Iswan.
Syarat dari Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai penerapan
upah per jam harus memenuhi beberapa syarat dan kriteria terlebih dahulu. Di
antaranya adalah jika pasokan dan permintaan terhadap tenaga kerja rendah.
Artinya, perekonomian negara tersebut telah mencapai titik keseimbangannya
lantaran lapangan kerja sangat terbuka.
"Dengan kecilnya itu, orang pindah-pindah kerja gampang karena tersedianya
lapangan kerja, angka pengangguran kecil dengan demikian upah per jam bisa
mengukur produktifitas. Indonesia kan tidak punya itu," ujarnya di Kantor LBH
Jakarta, Sabtu (28/12).
Selain itu, lanjutnya, sistem pengupahan tersebut pada dasarnya hanya dapat
menyasar sektor-sektor pekerjaan tertentu. Pengupahan dengan sistem per jam
tersebut ditegaskannya tidak bisa digeneralisir untuk seluruh jenis pekerjaan.
"Menteri Ketenagakerjaan bilang hanya yang jam kerjanya 35 jam doang, sektor
apa yang mau di sasarkan tidak jelas. Jadi sektor mana yang mau disasar. Menteri
ini paham tidak?," ujarnya.
Page 75 of 153.