Page 40 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 15 JANUARI 2020
P. 40
Dalam rancangan omnibus law ketenagakerjaan, upah minimum berlaku pada buruh
yang bekerja pada jam kerja normal, yaitu 40 jam per minggu. Sementara itu, untuk
buruh yang bekerja di bawah jam kerja normal akan diberikan upah per jam
sehingga hal ini menjadi kekhawatiran buruh bahwa upah yang diterima bakal lebih
rendah dari upah minimum.
Dengan pemberlakuan upah per jam dikhawatirkan persentase pekerja di bawah
jam kerja normal yang kini terbilang tinggi akan kian meningkat. Hasil Sakernas
Agustus 2019 menunjukkan sekitar 28,8% pekerja bekerja kurang dari jam kerja
normal atau kurang dari 35 jam seminggu. Meningkatnya persentase pekerja di
bawah jam kerja mencerminkan kian menurunnya produktivitas nasional.
Meski penurunan produktivitas itu barangkali bersifat sementara karena pekerja di
bawah jam kerja normal akan mencari tambahan kerja pada usaha lain, tapi hal itu
akan menimbulkan persoalan baru. Jelasnya, pemberlakuan upah per jam akan
meningkatkan pekerja rangkap, yang pada tahap lanjut akan menurunkan
kesempatan kerja bagi mereka yang masih menganggur.
Selain berpotensi menurunkan pendapatan, pemberlakuan upah per jam juga
dikhawatirkan menyebabkan ketidakpastian dalam hal pesangon jika terjadi PHK.
Berbeda halnya dengan buruh dengan jam kerja normal yang tidak hanya mendapat
upah minimum, tapi juga uang pesangon sesuai dengan UU No 13 Tahun 2013.
Maka, pemberlakuan upah per jam berpotensi akan kian menurunkan kesejahteraan
buruh.
Padahal, kesejahteraan buruh di Tanah Air jika dibandingkan dengan sejumlah
negara lain, terutama di ASEAN, kini masih terbilang rendah. Hal itu antara lain
terekam dari tingginya persentase pekerja miskin dengan pendapatan kurang dari
US$3,10 per hari berdasarkan ukuran paritas daya beli (purchasing power
parity/PPP) .
Laporan UNDP (Statistical Update, 2018) menyebutkan bahwa pekerja miskin di
Tanah Air (27,6%) lebih tinggi dari Singapura (0,3%), Thailand (0,6%), Malaysia
(1,1%), Vietnam (7,8%), dan Filipina (18,2%).
Distorsi pekerjaan layak
Dengan potensi menurunnya pendapatan buruh dengan upah per jam, hal itu akan
melemahkan daya beli buruh yang pada gilirannya rentan jatuh miskin bagi mereka
yang sebelumnya tidak miskin. Hal ini pada gilirannya akan mendistorsi keinginan
untuk mewujudkan pekerjaan layak (decent work) bagi semua pada 2030 seperti
tertuang pada gol delapan pembangunan berkelanjutan (sustainable development
goals/SDGs).
Menurut Badan Perburuhan Internasional (ILO), pekerjaan layak ialah kesempatan
kerja produktif dengan upah memadai, keamanan bekerja, proteksi sosial, prospek
pengembangan diri, kebebasan beraspirasi, serta turut berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan untuk kehidupan pekerja.
Page 39 of 203.