Page 120 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 DESEMBER 2020
P. 120
NIHIL BANTUAN SOSIAL, DAN MELONJAKNYA JUMLAH KASUS BURUH MIGRAN
Sejumlah aktivis buruh migran menyebut terjadi lonjakan kasus buruh migran Indonesia
sepanjang tahun 2020. Jaringan Buruh Migran (JBM) mencatat terjadi lonjakan kasus sebanyak
61 persen bila dibandingkan pada tahun 2019.
Kasus terbanyak adalah pemulangan secara deportasi dan repatriasi pekerja migran Indonesia
(PMI), khususnya mereka yang tidak memiliki dokumen paspor. Kondisi pekerja migran
Indonesia pada masa pandemi juga lebih rentan. Situasi kerja menjadi lebih buruk, beban kerja
yang semakin berat, pemotongan upah, tidak ada hari libur, dan sulit untuk berkumpul terutama
untuk berorganisasi.
Koordinator Sekretariat Nasional JBM Savitri Wisnuwardhani mengatakan, kebijakan
perlindungan pekerja migran Indonesia kurang efektif.
"Hingga sekarang, seluruh aturan turunan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum
disahkan. Hal ini sangat berdampak pada implementasi perlindungan," kata Savitri dalam
keterangannya memperingati Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh pada Jumat
(18/12/2020).
Sementara itu, Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar mencatat, tahun ini
ada peningkatan kasus kekerasan dibandingkan tahun lalu. Kasus yang dimaksud berupa
kekerasan fisik, penganiayaan, pelecehan seksual, pelanggaran kontrak kerja, eksploitasi
ekonomi, perdagangan orang hingga penghilangan nyawa secara paksa.
Dari 643 kasus yang ditangani oleh lembaganya pada tahun 2020, masalah penempatan non
prosedural menjadi penyumbang kasus terbanyak hingga 75,74 persen. Selebihnya adalah
masalah prosedural, 24,26 persen. Penempatan non prosedural ini kebanyakan dilakukan orang
perseorangan 59,14 persen dan sisanya sebanyak 40,86 persen dilakukan oleh P3MI dan
Perusahaan Penempatan Pelaut Awak Kapal.
Ketua Solidaritas Perempuan Dinda N Yura menambahkan, sepanjang tahun 2020, pihaknya
telah menangani 63 kasus kekerasan, pelanggaran hak, eksploitasi hingga trafficking yang
dialami oleh Perempuan Buruh Migran.
Dari 63 kasus tersebut, sebesar 14 kasus merupakan kasus pemberangkatan pasca Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor 260 tahun 2015, yang seluruh korbannya merupakan perempuan.
Sedangkan, Migrant Care menemukan banyak kasus pekerja migran Indonesia menjadi korban
pertama pandemi Corona. Pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor pekerja rumah
tangga semakin terbebani dengan jam kerja yang bertambah, waktu istirahat berkurang, dan
terancam pengurangan upah, serta rentan mengalami kekerasan berbasis gender.
"Pekerja migran juga rentan mengalami stigmatisasi sebagai pembawa virus, diskriminasi
sebagai warga asing, dan kriminalisasi akibat kebijakan pembatasan mobilitas yang mengawasi
secara ketat pergerakan manusia," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo.
Ditambahkannya, pemberlakuan Movement Control Order (MCO) di Malaysia berkontribusi besar
pada ketidakpastian nasib jutaan pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen di Malaysia.
Karena status kerjanya sebagai pekerja upah harian dan mingguan, otomatis mereka kehilangan
pekerjaan, jauh dari akses kesehatan, dan rentan mengalami penangkapan akibat penerapan
Operasi Benteng.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah Indonesia terlihat tidak memiliki kesiapan dalam
mempersiapkan tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di masa
pandemi Covid-19. Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan menghadapi
119