Page 352 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 30 AGUSTUS 2021
P. 352

"lni tentu harus kita kawal terus, tinjauan dan evaluasinya akan seperti apa, karena realitas ini
              tidak hanya menimpa satu atau dua kurir, melainkan seluruhnya, sehingga solusi juga harus
              menyeluruh," ujarnya.

              Gian menyebutkan, kepastian hukum dari pemerintah merupakan kata kunci untuk memperbaiki
              nasib kurir dan sistem e-commerce di Indonesia. "Cuma pemerintah yang bisa memastikan agar
              pengusaha, mau separah apa pun algoritmanya, mau tunduk di bawah regulasi," kata Gian.

              Selain itu, masyarakat sebagai konsumen juga bisa memberikan kontribusi untuk memperbaiki
              nasib  kurir  e-commerce.  Misalnya,  dengan  tidak  menggunakan  aplikasi  yang  memiliki  track
              record  buruk  kepada  kurir,  menandatangani  petisi,  atau  meningkatkan  awareness  dengan
              menyentil  aplikator di berbagai  platform  seperti  sosial  media  untuk  meningkatkan kewajiban
              terhadap kurir.

              "Biasanya kalau setelah ada insiden, aplikator membuat giveaway atau promo menarik. Jangan
              terlena dengan itu. Mereka (aplikator dan perusahaan penyedia jasa pengantaran) semakin kaya,
              bisa IPO, punya brand ambassador artis Korea, masak sih tidak bisa memberikan upah layak dan
              jaminan kesehatan kepada kurir?" tutur Gian.

              Di beberapa negara lain, mulai ada perbaikan sistem terhadap nasib kurir e-com-merce yang
              diawali dari protes publik. "Maka itu kalau ada yang mogok kita dukung, jangan terus-terusan
              kurir dan masyarakat mengambil tanggung jawab yang seharusnya dilakukan pemerintah dan
              perusahaan," tuturnya.

              Payung hukum

              Dosen  Fakultas  Hukum  Universitas  Gajah  Mada  yang  menaruh  perhatian  terhadap  hukum
              perlindungan pekerja, Nabiyla Risfa Izzati menuturkan, sampai saat ini belum ada payung hukum
              yang bisa melindungi para kurir. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
              tidak  berbicara  konteks  pidana  yang  melindungi  kurir,  melainkan  norma  kesehatan  dan
              keselamatan kerja. UU itu juga tidak diatur mengenai hubungan kemitraan.

              Hubungan  perusahaan  penyedia  jasa  dengan  kurir  hanyalah  mitra.  Ini  tentu  membuat  kurir
              semakin  tidak  terlindungi,  karena  tidak  memiliki  payung  hukum  sebagai  pekerja  dalam
              perusahaan penyedia jasa tempat mereka bekerja.
              "Kenapa  masalah  ini  berlarut-larut  dan  dibiarkan  bertahun-tahun,  karena  ketika  kita
              membicarakan  payung  hukum  dalam  konteks  kemitraan  itu  tidak  ada.  Ketika  ada  legal  gap
              karena  ketiadaan  aturan  hukum,  maka  kondisi  ini  dieksploitasi  oleh  orang-orang  yang
              berkepentingan," kata Nabiyla.

              Dalam  hubungan  kerja  jelas  mengatur  tentang  aturan  kerja.  Hal  ini  tidak  didapatkan  dalam
              hubungan kemitraan.

              Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka eksploitasi yang timbul dalam hubungan kemitraan
              akan semakin besar. Bukan tidak mungkin, pola hubungan semacam ini akan kian mengakar
              menjadi kultur industri 4.0 dan mengular ke sektor pekerjaan yang lain.

              "Kalau perusahaan dihadapkan pada dua pilihan mau memasukkan pekerja dalam hubungan
              kerja atau kemitraan, tentu mereka akan memilih kemitraan.

              Dan jangan salah, banyak perusahaan yang menakuti bahwa kalau ada hubungan kerja maka
              tak lagi fleksibel. Hubungan kerja dan fleksibilitas harusnya tidak dibenturkan," ujamya.





                                                           351
   347   348   349   350   351   352   353   354   355   356   357