Page 41 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 OKTOBER 2021
P. 41
The Washington Post Magazine mempublikasikan laporannya pada 6 Oktober lalu. PRT asal
Indonesia yang jadi korban kekerasan majikannya yang berstatus staf KJRI , disebut bernama
Sri Yatun. Sri disebut tiba di AS tahun 2004 lalu.
Visa A-3 untuk pekerja yang dipekerjakan para pejabat diplomatik asing. Sementara visa G-5
untuk para pekerja yang dipekerjakan staf organisasi internasional seperti Bank Dunia.
Secara khusus melekat pada majikan, visa itu memberikan para PRT izin kerja dan status imigrasi
yang sah. Visa ini sangat berpengaruh, tapi juga bisa memungkinkan penyalahgunaan.
Kemampuan para PRT untuk tinggal secara legal di AS ada di tangan para majikan mereka, yang
mungkin memiliki kekebalan diplomatik dari aturan hukum AS. Sementara banyak PRT yang
memiliki hubungan saling menghormati dan mendalam dengan majikan mereka.
Ketidakseimbangan kekuasaan yang diberikan visa itu memicu berbagai persoalan, seperti kerja
melampaui jam yang semestinya, upah kecil dan persoalan lebih buruk lainnya. Sri Yatun (32)
menuturkan sang majikan saat memberitahunya bahwa dia akan bekerja tanpa upah selama
empat bulan pertama hingga mereka pindah ke AS, informasi ini didasarkan pada keterangan Sri
dan dokumen T-visa.
Dituturkan Sri bahwa staf KJRI itu menyebut upahnya akan digunakan untuk membayar
pengajuan visa dan tiket pesawat ke AS. Saat itu Sri meyakinkan dirinya bahwa semuanya tidak
akan sia-sia.
Kontrak bekerja di AS terlihat bagus yakni dengan upah US$ 400 per minggu per 40 jam. Dan
tambahan US$ 13 per jam untuk lembur.
Simak berita lengkapnya di halaman berikutnya.
Setibanya di AS, Sri bekerja siang dan malam tanpa libur, masih menurut dokumen T-visa serta
wawancara dengan tiga teman Sri dan seorang aktivis anti-perdagangan manusia asal Indonesia
yang membantu Sri bertahun-tahun kemudian. Sri menuturkan bahwa dirinya kadang-kadang
diberi upah US$ 50 hingga US$ 100 lebih dalam sebulan.
Semua ini dilakukannya sambil menanggung pelecehan verbal dan ancaman dari majikannya
dan suami majikannya. Sri bercerita tentang emosi suami majikannya kerap meledak-ledak.
Sri juga pernah mendapat kekerasan secara verbal, bahkan pernah melemparkan remote control
hingga mengenai kepalanya. Ketika Sri ingin pergi, sang majikan mengancam akan
menjebloskannya ke penjara jika tanpa izin mereka.
Sri juga menyampaikan majikannya menakut-nakuti dengan menceritakan di AS banyak kasus
penembakan massal dan anggota geng yang suka menculik wanita yang sendirian untuk dijual
menjadi budak seks. Ketergantungan Sri pada majikannya, bukan hanya karena pekerjaan tapi
juga status hukumnya, telah mengurungnya.
Hingga akhirnya dia menemukan paspornya yang disembunyikan majikannya. Saat itu Sri
sendirian di rumah.
Usai melihat paspornya, dia menyadari visanya sudah kedaluwarsa.
Sri menuturkan dirinya sudah tiga tahun lebih meminta kepada majikannya untuk bisa melihat
paspornya, karena khawatir jika visanya kedaluwarsa. Jika hal itu terjadi maka Sri terancam
dideportasi, bahkan dilarang kembali ke AS.
40