Page 50 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 OKTOBER 2019
P. 50
Alasan Efisiensi Polemik PHK dengan alasan efisiensi telah mengundang diskursus
dan perdebatan tidak berkesudahan. Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UUK) membolehkan PHK terhadap pekerja dengan alasan
efisiensi. Dalam hal terjadi PHK atas alasan efisiensi, maka perusahaan wajib
membayar uang pesangon 2 (dua) kali lipat sebagai bentuk kompensasi. Namun
kemudian, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 19/PUU/IX/2011 menegaskan
bahwa PHK atas alasan efisiensi baru dapat dilakukan apabila perusahaan tutup
permanen (tidak untuk sementara waktu).
Permasalahannya, apa gunanya efisiensi jika perusahaan telah tutup permanen?
Menjawab hal tersebut, pada beberapa putusan Mahkamah Agung (MA) terlihat
bahwa masih dapat dilakukan PHK atas alasan efisiensi meskipun perusahaan tidak
tutup permanen. Misalnya saja putusan MA No. 490 K/Pdt.Sus-PHI/2016 atau
putusan MA No. 518 K/Pdt.Sus-PHI/2014. Kedua putusan tersebut dikeluarkan
setelah adanya putusan MK. Fakta ini seolah menunjukkan bahwa tidak terdapat
kepastian hukum terkait ketentuan PHK atas alasan efisiensi.
Di tengah polemik yang tidak berkesudahan, seyogianya perusahaan tetap
memahami bahwa pekerja merupakan aset dan bukan beban dalam kegiatan bisnis.
Oleh karena itu, PHK dengan alasan efisiensi baru dapat dilakukan perusahaan
sepanjang dapat membuktikan adanya upaya efisiensi pada beban-beban bisnis lain
secara pantas dan patut. Misalnya saja, mengurangi upah atau fasilitas bagi pekerja
pada level manajer ke atas, mengurangi atau membatasi jam kerja, kerja lembur,
atau hari kerja.
Dalam hal alasan PHK yang dilakukan oleh perusahaan semata-mata untuk
mengejar keuntungan tanpa dilakukannya upaya efisiensi pada komponen bisnis
lainnya, maka tindakan PHK jelas bertentangan dengan UUK dan Konstitusi. Secara
tegas Pasal 151 ayat (1) UUK mengamanatkan kepada perusahaan agar dengan
segala upaya mengusahakan jangan terjadi PHK.
Page 49 of 86.