Page 131 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 DESEMBER 2021
P. 131

SurveiAngkatan  Kerja  Nasional  (Sakernas),  Februari  2021,  yang  disusun  oleh  Badan  Pusat
              Statistik menunjukkan hanya sekitar lima sampai enam dari sepuluh buruh yang menerima upah
              di atas upah minimum provinsi (UMP). Jika ditarikke belakang, setidaknya dalam lima tali un
              terakhir, tren persentase pekerja yang menerima upah diatas UMP cenderung menurun.

              Data terbaru dihimpun BPS pada Sakernas Februari 2021 juga menunjukkan persentase buruh
              (termasuk  karyawan  dan  pegawai)  dengan  upah  di  atas  UMP  hanya  sebesar  50,33  persen.
              Artinya, hanya mencakup separo dari total buruh yang ada di Indonesia.

              Tahun sebelumnya periode yang sama di masa pra-pan-demi, persentasenya lebih besar, yakni
              mencapai 51,34 persen. Penurunan tersebut tak lain adanya bencana non-alam, pandemi Govid-
              19  berdampak  besar  perekonomian.  Demi  menjaga  keberlanjutan,  perusahaan  mengurangi
              biaya operasional, salah satunya dengan melakukan pemotongan gaji karyawan.

              Penentuan  UM  berbeda-beda  di  setiap  wilayah.  Terkait  rendahnya  UM  di  beberapa  wilayah,
              sebenarnya  sudah  dicakup  dalam  Peraturan  Pe-merintah(PP)  Nomor  36  tahun  2021  tentang
              dasar penghitungan UM. PP ini disusun dengan prinsip memacu laju pertumbuhan UM terlampau
              rendah dan menahan laju pertumbuhan UM di wilayah-wilayah capaiannya sudah tinggi. Tentu
              perlu diapresiasi jika PPini betul -betul diimple-men tas ikan untuk mengu ra ng i kesenjangan
              upah. Namun permasalahan upah di negara kita bukan itu saja.

              Masalah  lain  juga  tidak kalah  penting  adalah bagaimana  agar  upah  efektif  diberikan kepada
              pekerja tidak lagi hanya sekedar mengikuti UM. Upah efektif diamanatkan lebih besar dari UM
              dimana  besarannya  dapat  ditentukan  ruang  diskusi  bipartfte  antara pekerja  dan  pengusaha.
              Sayangnya,  dalam  rilis  Apindo,  ruang  diskusi  ini  digambarkan  sangat  kecil  dengan  alasan
              UMsudah terlampau tinggi.

              Hal  ini  terkait  dengan  fenomena  dimana  serikat  pekerja  Indonesia  terus  menerus  menuntut
              kenaikan UM. Salah satu alasan mendasari aktivitas serikat pekerja ini adalah karena m mimnya
              ruang negosiasi antara pekerja dan pengusaha terkait kenaikan upah. Sehingga salah satu usaha
              bisa dilakukan para pekerja mendorong kenaikan upah adalah dengan menuntut kenaikan UM
              tiap tahunnya (Siregar, 2019).

              Menaker sendiri menyebutkan bahwa upah efektif haruslah berdasarkan produktivitas dan bukan
              hanya berdasarkan UM. Namun masih banyak perusahaan belum memil iki s tru ktur sta nda r u
              pah (SSU) yang jelas sesuai dengan ketentuan. Tanpa SSU, pekerja cende-ru ng dibayar se besar
              UM meski masa kerjanya sudah lebih dari setahun.

              Pekerja  tidak  akan  termotivasi  meningkatkan  produktivitasnya  jika  mereka  tahu  persis  upah
              mereka terima akan sama tiap bulannya. Jika pekerja diminta lebih produktif, sudahkah para
              pengusaha  menyediakan  sarana  dan  kesempatan?  Jika  nantinya  banyak  pekerja  produktif,
              siapkah pengusaha memberi upah yang sesuai? Jangan-jangan, produktif atau tidak, pengusaha
              memang hanya mampu memberi upah sesuai UM.

              Secara itung-itungan sesuai rumus ditetapkan, UM di beberapa wilayah memang sudah cukup
              tinggi.  Di  beberapa  wilayah  lainnya  UM  justru  bisa  sangat  rendah.  Kenaikan  UM  memang
              ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi (PE) wilayah.




                                                           130
   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136