Page 338 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 DESEMBER 2021
P. 338
Undang Cipta Kerja dapat dijadikan sebagai momentum untuk mencari jalan tengah yang tidak
menggerus kesejahteraan buruh dan tak memberatkan pengusaha.
Tanpa perbaikan, rumus penghitungan upah minimum baru yang kini diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan itu dikhawatirkan bisa menekan
laju kenaikan upah minimum, yang akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengganggu
iklim investasi.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, revisi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat dijadikan sebagai momentum
untuk membenahi lagi sistem pengupahan. Menurut rencana, UU itu akan direvisi tahun depan
setelah putusan Mahkamah Konstitusi menyatakannya cacat formil dan inkonstitusional
bersyarat.
Saat ini, buruh masih mengajukan protes atas rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP)
sebesar 1,09 persen, di bawah tingkat inflasi tahunan Oktober 2021 yang sebesar 1,66 persen.
Namun, pemerintah tetap menegaskan bahwa UMP dan upah minimum kabupaten/kota (UMK)
di sejumlah daerah tetap mengacu pada PP No 36/2021.
Menurut Timboel, perjuangan atas upah layak tidak serta-merta terhenti karena bisa diteruskan
lewat revisi UU Cipta Kerja. "Bisa dibicarakan seperti apa jalan tengahnya. Sebab, meski Covid-
19 nanti sudah lewat, (kenaikan upah) akan tetap be-gitu-begitu saja akibat rumus penghitungan
upah yang baru. Karena itu, harus ada perbaikan, tidak mungkin setiap tahun kita ribut seperti
ini," tuturnya, Jumat (3/12/2021).
Timboel menyatakan, pengusaha, buruh, dan pemerintah perlu duduk bersama membicarakan
jalan tengah. Serikat pekerja diharapkan tidak antipati dan mau terlibat dalam penyusunan
norma yang baru. Sementara pemerintah dan pengusaha juga harus terbuka terhadap opsi lain
yang lebih proporsional.
Tak hanya menggerus kesejahteraan buruh, lanjut Timboel, kenaikan upah minimum yang
rendah juga dapat berdampak buruk pada iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Resiprokal
Kekhawatiran ini tidak hanya diutarakan buruh dan sejumlah ekonom, tetapi juga elite di
pemerintahan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso
Monoarfa pada Jumat (26/11) mengatakan, kenaikan upah yang layak dapat mendorong
konsumsi rumah tangga dan juga pertumbuhan ekonomi nasional.
Konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga sebesar 56 persen terhadap besaran produk
domestik bruto (PDB). Per triwulan III-2021, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 1,03 persen
secara tahunan. Itu sejalan dengan penurunan rata-rata upah riil buruh di hampir seluruh
lapangan kerja yang sebesar 0,72 persen secara tahunan.
Suharso menambahkan, berdasarkan hasil perhitungan Bappenas, rata-rata kenaikan upah
minimum di kisaran 5 persen dapat mena-ikan pengeluaran masyarakat sampai Rp 180 triliun
dan memberi bantalan pertumbuhan konsumsi hingga 5,2 persen.
"Saya kira ini perlu kita pikirkan. Kenaikan upah perlu, karena itu akan resiprokal terhadap daya
beli masyarakat dan akhirnya itu juga yang akan menggerakkan permintaan agregat dan
perekonomian kita," ujar Suharso.
Hal serupa disampaikan Wakil Presiden RI 2014-2019 Jusuf Kalla saat menghadiri Halaqah Satu
Abad Nahdlatul Ulama (NU), Kamis (2/12). Kalla mengatakan, upah minimum yang saat ini
337

