Page 138 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 NOVEMBER2019
P. 138
Antropolog dan dosen di Universitas Sebelas Maret Solo, Aris Mundayat yang juga
hadir dalam diskusi itu, mengatakan definisi prekariat di abad ke-21 ini berbeda
dengan pengertiannya di abad ke-19.
Ia mengatakan bahwa di masa ini, pekerja migran harus terlebih dahulu mengeluarkan
modal untuk dapat bekerja. Hal ini menimbulkan kondisi precarious atau rentan.
"Kenapa mereka precarious? Ketika mereka berangkat mereka sudah harus
mengeluarkan modal, kalau ke Hongkong mungkin 20-30 juta rupiah," kata dia.
"Artinya apa? Tekanan, deprivasi dan juga prekaritas sangat tajam dan sangat kuat
sehingga kemudian tidak ada kepastian masa depan mau apa. Satu-satunya jalan
pergi ke agama."
Dian Novi dan Ika Puspitasari, pekerja migran Indonesia yang menurut Wahyu adalah
generasi pertama perempuan pelaku tindakan bom bunuh diri, jadi contoh.
"Ini perubahan sebenarnya. Dari ekstrimisme kekerasan yang pada dulunya
mendomestikasi (atau menjinakkan) perempuan pada pekerjaan-pekerjaan di
belakang," katanya.
"Tapi kemudian ada konstelasi politik di mereka. Kalau beberapa orang melihat, ada
perubahan dari Jamaah Islamiah ke Jamaah Ansharut Daulah misalnya kalau di
Indonesia."
Perempuan Tak Lagi Pasif
Antropolog dan dosen di Universitas Sebelas Maret Solo, Aris Mundayat bercerita
tentang wawancaranya dengan pekerja migran di Jember, Wonosobo dan Indramayu
yang pernah bekerja di Hongkong, Taiwan, Singapura dan Malaysia.
Ia mengatakan melihat adanya proses menarik tentang bagaimana mereka terpapar
radikalisme sampai ke tingkat ekstrem.
"Sebelum mereka berangkat sebenarnya mereka masih ada di dalam ruang
kebudayaan yang relatif plural dan multikultural. Paling tinggi tingkat keagamaannya
adalah konservatisme yang masih OK," kata dia.
"Orang seperti Ika ataupun Dian dulunya sangat pluralis, pernah mewarnai rambutnya
warna biru, merah dan pakaiannya biasa."
Page 138 of 182.