Page 139 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 NOVEMBER2019
P. 139
"Semua seperti itu. Tapi kemudian berubah. Sebagian yang berubah ini dibajak oleh
kelompok ISIS," tambahnya.
Aris melihat adanya proses bersentuhan antara pekerja migran perempuan ini dengan
kelompok-kelompok fundamentalis melalui pertemuan-pertemuan agama di negara
tempat mereka bekerja.
Dalam pertemuan itu, ia mengatakan bahwa perempuan diajarkan cara membangun
jejaring sebagai bekal ilmu yang membuat mereka tidaklah lagi pasif.
"Oleh karena itu kaum perempuan ini tidak bisa dilihat selalu di dalam banyak
pemberitaan sebagai 'korban dari laki-laki' atau 'diajak laki-laki', karena mereka aktif,"
terang Aris.
"Jadi mereka membangun jaringan, mendanai, aktif menggerakkan. Jadi mereka aktif.
Bukan lagi pasif."
Keaktifan perempuan yang dimaksud Aris ditemukan dalam peran mereka sebagai
agen dan aktan yang memproduksi nilai-nilai radikalisme sampai pada titik violent
extremism.
"Aktan artinya punya kemampuan yang aktif dalam membangun jaringan dan
berpengaruh di dalam jaringan," kata Aris kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Prekaritas, Pintu Masuk Radikalisme
Diatyka Widya Permata Yasih, sosiolog di Universitas Indonesia dan mahasiswi S3 di
University of Melbourne melihat prekaritas sebagai sebuah kondisi.
"Artinya sekarang kita berada dalam suatu struktur ekonomi di mana hal-hal semakin
tidak pasti dan artinya hampir semua orang, kecuali satu persen yang tidak mengalami
prekariatisasi," jelasnya.
Ia mengatakan bahwa keadaan tersebut dapat membuka ruang bagi radikalisasi dan
terorisme di lingkungan pekerja.
"Menurut saya kondisi prekaritas turut berdampak pada ketimpangan sosial," kata
Diatyka.
"Dan argumen saya adalah hal ini sudah dinormalisasi melihat semakin meluasnya
model bisnis yang menyembunyikan kondisi pekerja yang buruk dan meningkatkan
ketimpangan sosial."
Page 139 of 182.