Page 30 - Hujan bulan Juni Pilihan sajak by Sapardi Djoko Damono
P. 30
SEHABIS SUARA GEMURUH
sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku hanyalah
tubuhmu telanjang dengan rambut terurai
menga pung dipermukaan air bening yang mengalir tenang –
tak kausahut panggilanku
1973
MUARA
Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap. Kalau kebetulan
dibawanya air dari gunug, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut
kehidupan” Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkan ia berkata, “Tentu
saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tidak
menghendaki sisa-sisa ini untukmu”
Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia tera pung di muara itu, di sana-sini timbul
pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara rebut, “Tidak! Bukan aku yang
memberinya isyarat ketika ia tiba-tiba berhenti di jembatan itu dan, tanpa
memejamkan mata, membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan, sungguh, aku tak
berhak mengusutnya sebab bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukumu,
tidaklah sedalam…”
1973
SEPASANG SEPATU TUA
sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang
berdebu,
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan –
keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama
seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk
sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua
1973
Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 30