Page 93 - BUMI TERE LIYE
P. 93
TereLiye “Bumi” 90
Bahkan aku yang bosan tidak bisa tidur-tidur juga akhirnya memutuskan
beranjak duduk. Teringat percakapan dengan sosok itu, aku menatap novel
tebal di atas kasur, menghela napas. Aku berkonsentrasi, berkali- kali
menyuruh novel itu menghilang—lima belas menit berlalu, novel tebal itu
tetap teronggok bisu.
Akhirnya aku menarik selimut lagi, berusaha tidur, hingga jatuh
tertidur pukul dua malam. Di luar sana, hujan deras terus menyiram kota.
Lampu seluruh kota terlihat kerlap-kerlip oleh tetes air. Irama konstan air
menerpa atap, jalanan, dan pohon.
Aku terbangun mendengar kesibukan Mama di dapur. Me-lihat jam di
dinding, pukul lima, rasanya baru sebentar sekali aku tidur. Aku
memutuskan turun dari ranjang, memulai aktivitas pagi.
Di luar hujan sudah reda, masih gelap, menyisakan halaman rumput
yang basah. Si Putih mengeong riang, menyapa. Aku balas menyapa. ”Pagi,
Put.” Tapi tidak ada si Hitam. Kucingku itu jika aku masih bisa
menyebutnya ”kucingku” tidak terlihat di kamarku.
Aku merapikan poni yang berantakan di dahi, menatap cermin, tidak
ada hal yang ganjil di dalamnya. Kuperiksa kamar, si Hitam tetap tidak
ke-lihatan. Aku menggaruk kepala, sebaik-nya aku mandi dan ber-siap
berangkat sekolah.
”Eh, Ra? Jerawatmu sudah hilang, ya?” Seruan Mama sedikit
mengagetkan.
Aku mendongak. Entah sejak kapan, Mama sudah berdiri di
hadapanku. Tangannya memegang wajan kosong, habis meng-goreng telur
dadar. Aku tadi pasti lagi-lagi melamun.
”Wah, benarbenar hilang! Kamu pencet, ya? Tapi kenapa tidak ada
bekasnya?” Mama tertarik ingin tahu.
”Nggak tahu, Ma. Hilang begitu saja.”
”Hilang begitu saja?” Mama tertawa antusias. ”Wah, ini hebat, Ra.
Hanya dalam satu malam, jerawat sebesar itu sembuh. Kamu kasih obat
http://cariinformasi.com