Page 23 - RETNO MEDIA PAB P6
P. 23

Pantang menyerah adalah salah satu sikap Petapa Siddharta. Hal ini dilakukan ketika

                  Beliau  menjalani  penyiksaan  diri.  Beliau  berlatih  bermacam-macam  puasa.  Bersama
                  lima petapa, Beliau berlatih dalam berbagai cara usaha keras yang disebut penyiksaan

                  diri (dukkaracariya) . Usaha keras  praktik penyiksaan diri (dukkaracariya) yang dilakukan
                  Petapa Siddharta yang dianggap-Nya dapat membantu mencapai kebuddhaan.


                  Tanpa mengenal lelah, menahan lapar dan haus. Hidup hanya dengan buah yang jatuh

                  dari  pohon  di  hutan  Uruvela  tempat  di  mana  Beliau  tinggal.  Berhadapan  dengan

                  panasnya sinar matahari di siang hari. Menghadapi dinginnya udara malam hari ketika
                  berendam di Sungai Gangga.


                         Beliau  menahan  sakit  yang  luar  biasa.  Menggemeretakkan  gigi  dan
                  mendecakkan  lidah  untuk  menekan  kesadaran-kesadaran  yang  tidak  baik  dengan

                  kesadaran  yang  baik.  Mengembangkan  Appanāka-Jhāna,  yaitu  usaha  terus-menerus

                  menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut atau hidung sehingga udara tidak
                  dapat masuk atau keluar. Beliau juga tiada takut terhadap ancaman binatang buas atau
                  binatang malam yang suatu saat bisa membahayakan diri-Nya.


                  Dengan melakukan hal itu, Petapa Siddharta jatuh pingsan.   Para  dewa menganggap

                  jika Petapa Siddharta telah meninggal. Akan tetapi, Beliau tidak lekas menyerah. Beliau
                  bangkit lagi karena teringat akan cita-citanya mencapai kesucian. Selanjutnya, petapa

                  Siddharta lebih mengurangi makannya. Kadang, Beliau hanya makan segenggam nasi,
                  atau sesuap sup. Bagi kita orang biasa, hal ini sulit dilakukan,    tetapi tidak bagi Petapa

                  Siddharta. Beliau melakukan puasa ini selama enam tahun.


                  Dalam enam tahun usaha-Nya itu, Beliau tidak pernah berpikir: ”Aku akan kembali ke
                  istana emas-Ku dan dilayani pelayan dan  permaisuri-Ku. Aku akan bergembira merawat

                  Ibu dan Ayah.  Aku lebih baik tidur nyaman di kasur mewah.”  Tidak pernah sedikit pun
                  pikiran  tersebut  muncul  dalam  diri-Nya  untuk  menjalani  hidup  dengan  mudah.  Praktik

                  menyiksa diri ini benar-benar sangat sulit dilakukan. Apalagi oleh orang-orang biasa.


                  Karena melakukan praktik menyiksa diri itu,   tubuh-Nya sangat kurus. Daging di antara
                  tulang-tulang  rusuk-Nya  menjorok  ke  dalam.  Bola  mata-Nya  juga  terlihat  menjorok  ke

                  dalam  rongga  mata.  Kulit  kepala-Nya  keriput  dan  kering  bagaikan  buah  labu  yang

                                                                                                              25
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28