Page 53 - BUKU AJAR BAHASA INDONESIA KELAS XII - FARRAH, RAHMAH, RYANA
P. 53
Bentuk ujaran metatesis merupakan sebuah ujaran yang disusun atas
kumpulan huruf yang diletakkan secara berbalik dengan pengujaran yang seharusnya.
Misal, ujaran “yuk” diubah menjadi “kuy”. Ujaran metatesis ini kian ramai digunakan
oleh para penutur bahasa seiring dengan maraknya digitalisasi media sosial yang
meluas. Dalam dunia kebahasaan, peristiwa tersebut menjadi sebuah jembatan yang
membuat bahasa semakin beragam cabangnya. Karena bahasa tergolong dinamis dan
tidak dapat dipisahkan dengan penuturnya, maka eksistensinya pun dapat dengan
mudah timbul serta meluas. Dengan mempertimbangkan faktor penutur dan medium
penuturannya, sebuah ujaran akan melesat cepat dengan mudah.
Dalam sebuah laman majalah elektronik, dikatakan bahwa istilah metatesis
berasal dari kata “meta” yang berarti perubahan dan “tithema” yang berarti tempat.
Metatesis dapat terjadi sinkronik (terjadi pada masa tertentu) dan diakronik (terjadi
melalui proses sejarah). Jadi, metatesis adalah proses pengubahan urutan fonem yang
terdapat dalam suatu kata atau perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata
sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Perubahan kata yang tak biasa ini
juga dapat dipengaruhi oleh fenomena linguistik yang terjadi pada sosial budaya
sekitarnya.
Selain itu, bentuk ujaran metatesis seringkali digunakan oleh para kaula muda
dalam berkomunikasi secara daring antarteman sebayanya. Tentu dengan aspek
sosiolinguistik yang ada menjadikan bentuk tersebut kian populer dan lebih terasa
“segar” di mata anak-anak muda. Bahkan penggunaannya pun juga mulai diikuti oleh
kalangan usia lainnya karena dirasa mampu membuat suasana baru dalam
berkomunikasi.
Umumnya anak-anak muda saling bertukar pesan atau mengekspresikan
sesuatu melalui media sosial dengan menggunakan ujaran metatesis. Pada dasarnya
mereka tidak mengetahui bahwa ujaran tersebut merupakan salah satu bentuk ragam
bahasa Indonesia. Alih-alih mempelajari konsep bahasa yang sesungguhnya,
mayoritas kaula muda lebih memilih menggunakan bahasa non-formal yang masuk
melalui tren-tren “kekinian”. Padahal bisa saja melalui bentuk ujaran tersebut, mereka
mempelajari bentuk bahasa lain yang dapat digunakan jika dihadapkan pada beberapa
situasi dan kondisi yang formal kelak.
Namun alih-alih untuk membudayakan tuturan yang tepat sesuai kaidah
PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), mayoritas masyarakat lebih
senang untuk membudayakan ujaran metatesis ini. Konon, karena perubahan bahasa
sifatnya sangat dinamis maka akan terlihat kurang gaul jika ada beberapa pihak saja
yang terlambat mengikuti tren kebahasaan terkini.
Maka kian maraklah ujaran metatesis digunakan oleh berbagai kalangan.
Dalam beberapa forum atau media formal saja sudah mulai digunakan. Hal ini guna
menjadi nilai tambah untuk menarik minat pembaca atau pendengar dalam menyoroti
sesuatu. Misal, dalam media edukasi yang berbentuk poster atau video kini banyak
digunakan ujaran metatesis untuk memberi sebuah kesegaran bagi target pasarnya.
Selain dapat menarik minat, juga dapat memudahkan proses penyerapan informasi
yang diperoleh. Sehinga target atau tujuan dari media tersebut dapat tercapai dengan
baik.
Jika demikian, artinya ujaran metatesis ini juga memiliki pengaruh baik
dengan memiliki peranan penting dalam sebuah lingkungan sosial tertentu. Bentuk
metatesis ini juga berfungsi untuk menunjukkan bahwa bentuk bahasa sangat
beragam dan tidak selalu monoton. Walaupun yang agak dikhawatirkan yaitu
terlenanya masyarakat untuk menggunakan bentuk ujaran yang kurang tepat pada
situasi dan kondisi tertentu (situasi fomal).
Mungkin pula dengan adanya pengetahuan masyarakat tentang salah satu
bentuk bahasa seperti ini juga menstimulus mereka untuk mempelajari lebih jauh dan
dalam tentang Bahasa Indonesia. Keuntungan lainnya yang didapatkan juga bisa
menjadi media promosi kebahasaan itu sendiri. Dengan demikian minat masyarakat
berpeluang untuk muncul sedikit demi sedikit. Maka dari itu, eksistensi bentuk ujaran
49