Page 66 - BUKU AJAR BAHASA INDONESIA KELAS XII - FARRAH, RAHMAH, RYANA
P. 66

Sebagaimana  kawan  telah  tahu.  Aku  ini,  paling  tidak  menurutku  sendiri,
                        adalah lelaki yang berikhtiar untuk berbuat baik, patuh pada petuah orangtua, sejak
                        dulu.  Rupanya,  begitu  pula  ayahku  yang  sederhana  itu.  Katanya,  ia  selalu
                        menempatkan setiap kata ayah-bundanya di atas  nampan pualam,  membungkusnya
                        dengan tilam.
                               Dan ternyata, Tuhan menerapkan dalil yang tetap untuk lelaki sepertiku dan
                        ayahku, yakni: lelaki seperti kami umumnya jarang diganjar dengan ujian yang oleh
                        orang Melayu Dalam sering disebut sebagai cobaan nan tak tertanggungkan.
                               Oleh karena itu, seumpama di koran-koran tersiar berita tentang seorang pria
                        yang sedang bersepeda santai pada Minggu pagi yang cerah ceria, tra la la, tri li li,
                        sekonyong-konyong, tak tahu kenapa, sepedanya oleng dan ia tertungging ke dalam
                        sumur angker gelap gulita, tak dipakai lagi, dalamnya dua belas meter, perigi sarang
                        jin, bekas tentara Jepang mencemplungkan pribumi. Lelaki periang itu pun berteriak-
                        teriak panik minta tolong. Tak ada yang mendengar jeritnya, selama empat hari empat
                        malam. Habis suaranya. Akhirnya ia minta tolong lewat kliningan sepedanya. Kring,
                        kring,  lemah  menyedihkan.  Naudzubillah,  tragedi  semacam  itu  biasanya  menimpa
                        orang lain, bukan menimpa pria sepertiku dan ayahku.

                                Atau,  seandainya  hujan  lebat,  petir  menyambar  tiang  listrik,  tiang  listrik
                        roboh menimpa pohon sempret, pohon sempret tumbang menimpa pohon mengkudu,
                        pohon  mengkudu  terjungkal  menabrak  atap  rumah,  atap  rumah  ambrol  menimpa
                        belandar, belandar ambruk menghantam televisi, televisi meledak dan seorang lelaki
                        yang  tengah  duduk  manis  menonton  acara  TVRI  'Aneka  Ria  Safari"  kena  sambar
                        listrik televisi, televisi hitam putih lagi. Rambut, kumis, dan alisnya hangus sehingga
                        ia seperti pendekar Shaolin. Dapat dipastikan, lelaki sial itu bukanlah aku, bukan pula
                        ayahku.

                               Atau lagi, misalnya merebak berita soal seorang pria keriting yang dilarikan
                        ke  rumah  sakit,  ambulans  meraung-raung,  tergopoh-gopoh  menuju  ruang  tanggap
                        darurat, sebab pria itu ketika makan buah duku, tak tahu kenapa, biji duku melenceng
                        masuk  ke  lubang  hidungnya,  hingga  ia  tersengal-sengal  sampai  nyaris  lunas
                        nyawanya. Pria itu bisa saja absurd dm keriting, tapi ia bukan aku.
                               Satu-satunya berita yang pernah melanda ayahku hanyalah soal naik pangkat.
                        Aku kelas tiga SD waktu itu.

                               Bukan main senangnya Ayah waktu menerima surat dari Pak Nga Djuasin bin
                        Djamalludin Ansori, mandor kawat Meskapai' Timah, bahwa akan ada promosi bagi
                        kaum  kuli  tukang  cedok  pasir  di  wasrai.  Wasrai  dimelayu-kan  dari  kata  Belanda
                        wasserijk, yang artinya 'bengkel pencucian timah'. Kuli yang akan naik pangkat salah
                        satunya  Ayah.  Surat  itu,  pagi  tadi  dibaca  ibuku,  sebab  Kawan  juga  tentu  sudah
                        mafhum betapa mengharukannya pengetahuan ayahku soal huruf-huruf Latin.

                               Begitu  mendengarnya,  Ayah  yang amat pendiam, seperti biasa, tak berucap
                        sepatah  pun.  Kutatap  wajahnya  yang  melempar  senyum  ke  luar  jendela  dan
                        membuang  pandang  ke  pucuk  pohon  kenanga,  dan  kubaca  dengan  terang  di  sana:
                        syahdu seperti aktor India baru menyatakan cinta, dan bangga.

                               Selebihnya, tak dapat disembunyikan kesan raut wajah Ayah: tak percayai !

                                Tak percaya, bahwa akhirnya setelah membanting tulang-belulang tiga puluh
                        satu tahun, ada juga orang yang membicarakan soal kedudukannya. Selama tiga puluh
                        satu  tahun  itu  Ayah  tak  pernah  naik  pangkat,  tak  pernah,  sejak  ia  menjadi  kuli
                        meskapai dari usia belasan.

                               Tak  percaya,  bahwa  kata  pangkat  bisa  disangkutpaut-kan  dengan
                        pekerjaannya yang tak ada hal lain berhubungan dengannya selain mandi keringat.
                               Tak percaya, bahwa ada orang lain, selain anak-anaknya yang berkirim surat
                        padanya. Dengan amplop cokelat Maskapai.  berkilat dan kaku  seperti kopiah, plus
                        kop surat berlambang meskapai yang gagah: sebuah gerigi besar dan palu lambang
                        kerja keras pagi sampai petang.






                                                                62
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71