Page 11 - KATALOG BORNEO METAMORFOSA 3
P. 11
Tradisi sudah tidak bisa mengenali dirinya sendiri walau hidup dalam gemerlap lampu dan riuhnya tepuk
tangan. Akhirnya ekstra-tradisi itu menjadi robot pemakan tradisi lama, atau menyingkirkan tradisi asli
yang dipandang tidak layak untuk mengisi ruang apresiasi. Saat itulah perkembangan sudah membunuh
tradisi asli dan menjadikan Ektrs-Tradisi sebagai mayat hidup dalam dunia baru. Tradisi makan tradisi,
inilah yang kita jual dan menjadi racun baru yang membuat kita tidak perduli lagi dengan tradisi asli. Pola
pikir inilah yang kita hidupkan diranah pelestarian dan perkembangan.
Tafsir tradisi mulai disederhanakan. Banyak kaidah nilai yang harus diganti dengan alasan menyesuaikan
kebutuhan. Parahnya lagi, banyak nilai-nilai budaya yang harus disunat karena memaksa untuk dijadikan
komuditas unggulan. Seiring waktu, lahirlah budaya baru yang dipaksa menjadi tradisi dikota-kota, terlalu
instan, dielukan sebagai master piece, walau dalam totalitas kesalahan persepsi. Itulah bentuk budaya
halusinasi yang dilahirkan dari perkawinan silang antara masyarakat ilusi dan delusi.
Gambaran budaya urban itu terbaca melalui karya
Bani Hidayat berjudul Warna Warni Saprahan.
Budaya saprahan sekarang dirasakan hanya
sekedar kumpul-kumpul makan, namun banyak
sekali orang yang tidak mengerti makna saprahan
itu sendiri. Beberapa sajian juga sudah berubah,
disesuaikan dengan selera dan tata cara kelaziman
kota. Esensi saprahan yang dulunya untuk
menyatukan masyarakat dalam rasa persaudaraan,
sekarang berganti menjadi rasa pesta dan terlihat
seperti ajang pengakuan status sosial belaka.
Sekat-sekat sosial mulai nampak dalam budaya
saprahan. Ruang-ruang hanya menjadi tempat
kelompok tertentu yang mengusung dogma sosial masing-masing. Kebanyakan orang yang hadir dalam
saprahan tidak mengenal lagi siapa yang duduk disebelahnya. Marjinalisasi suatu kelompok terhadap
kelompok lain terbaca pada sekar-sekat kepentingan golongan, bahkan terlihat dalam piring-piring sajian.
Ketika acara tersebut selesai, kita masing-masing melangkah pulang tanpa bertegur sapa.
Saprahan dijaman millenum berganti menjadi ruang gengsi. Ruang yang hanya membawa garis-garis
keangkuhan feodalisme namun dibalut kain warna warni yang kita sebut tradisi. Kita memang merasa aman
dalam ruang warna yang tergantung menjadi pembatas wilayah pemikiran satu frequansi. Akhirnya
saprahan yang tadinya sebagai penopang kebersamaan masyarakat, sekarang hanya dipandang sebagai ajang
Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa 3 | 9