Page 27 - Modul Sejarah Indonesia_X_3.4
P. 27
Modul Sejarah Indonesia_X_3.4 dan 4.4
Gambar : Ilustrasi hunian pada masa Neolithikum.http://Wikipedia.com
Pada masa bercocok tanam , hutan belukar dimanfaatkan untuk dijadikan ladang
dengan menanam tanaman seperti padi, sukun, nangka, jagung, pisang dan lain dengan
cara cara tradsisional, sehingga lama kelamaan tanah disekitar tidak subur dan tidak
dapat ditanami lagi sehingga mengharuskan mereka berpindah mencari tanah lain
yang lebih subur , sistem bercocok tanam seperti ini sering disebut Sistem ladang
berpindah ( berhuma ). Kegiatan seperti ini masih sering dijumpai di Indonesia seperti
di pedalaman Papua dan Kalimantan
2) Sistem Kemasyarakatan
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan
cukup pesat. Masyarakat praaksara pada saat itu telah memiliki tempat tinggal yang
tetap. Mereka memilih tempat tinggal pada suatu tempat tertentu. Hal ini dimaksudkan
agar hubungan antarmanusia di dalam kelompok masyarakat semakin erat. Eratnya
hubungan antar manusia di dalam kelompok masyarakat merupakan cermin bahwa
manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa anggota masyarakat lain.
Kehidupan sosial yang dilakukan oleh masyarakat pada masa bercocok tanam ini
terlihat dengan jelas melalui cara bekerja dengan bergotong royong. Setiap pekerjaan
yang dilakukan oleh masyarakat selalu dilakukan dengan cara bergotong royong,
diantaranya pekerjaan bertani, merambah hutan, berburu, membangun rumah, dan
lain-lain. Cara hidup bergotong royong itu merupakan salah satu ciri kehidupan
masyarakat yang bersifat agraris. Kegiatan gotong royong hingga saat ini masih tetap
dipertahankan terutama di daerah pedesaan.
Dalam kehidupan masyarakat bercocok tanam sudah terlihat peran pemimpin
(primus inter pares). Gelar primus inter pares di Indonesia adalah ratu atau datu(k)
artinya orang terhormat dan yang patut dihormati karena kepemimpinannya,
kecakapannya, kesetiaannya, pengalamannya, dan lain-lain.
3) Sistem Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami perkembangan.
Mereka telah mempunyai konsep tentang alam dan kehidupan setelah kematian.
Mereka percaya bahwa roh seseorang tidak lenyap pada waktu meninggal.
Penghormatan terhadap nenek moyang atau kepala suku yang diagungkan tidak
berhenti pada waktu kepala suku telah meninggal. Penghormatan terus berlanjut
menjadi sebuah pemujaan.
Kepercayaan tersebut diwujudkan dalam berbagai upacara keagamaan, seperti
persembahan kepala leluhur dan upacara penguburan mayat yang dibekali dengan
benda miliknya. Mereka percaya bahwa roh nenek moyang selalu mengawasi mereka.
Oleh karena itu, mereka selalu meminta perlindungan dari ancaman kelompok lain,
binatang buas, dan ancaman dari adanya wabah penyakit.
@2020, Direktorat SMA, Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN 23