Page 434 - BUKU SEJARAH BERITA PROKLAMASI
P. 434
Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pejuang senasib dan sepenanggungan dalam membentuk jaringan
komando perang gerilya dalam menghadapi tentara Belanda/NICA dan
juga menghindari upaya-upaya politik adu domba (devide et impera)
yang dijalankan pemerintah Belanda/NICA. GP3 kemudian berganti
nama dengan GRRI (Gerakan Revolusi Republik Indonesia).
Selain GRRI, di Kalimantan juga berdiri organisasi Dayak lainnya,
yakni Pemuda Indonesia Merdeka di Barito pimpinan Batara Linggar,
Pemuda Indonesia Merdeka di Muara Teweh pimpinan Achmad Kusasie,
Pemuda Republik Indonesia di Marabahan/Bakumpai pimpinan
Bahaudin. Namun, pada Desember 1945, semua organisasi dan badan
tersebut diperintahkan untuk melebur dengan pasukan kesatuan
Tentara Rakyat dibawah komando PP BPRI/BPOG seluruh Indonesia
pimpinan Mayor Djendral Bung Tomo.
Situasi di Kalimantan Timur, yang dikenal sebagai kota minyak,
berbeda dari situasi di Kalimantan lainnya. Para penjajah bercokol lebih
awal dan karenanya berkuasa lebih lama di di Kalimantan Timur.
Keberadaan minyak telah mengubah wajah daerah. Penduduknya
kebanyakan pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia,
terutama Makasar, Banjarmasin, dan Jawa. Sementara masyarakat
Dayak terdesak oleh rakyat pendatang dan memilih masuk ke dalam
hutan.
Kita mulai dengan kota Samarinda. Hampir sebulan setelah
Kemerdekaan Indonesia dibacakan, baru terbentuk organisasi yang
dipimpin oleh Dokter Soewaji Prawiroharjo yang diberi nama P3KRI
(Panitia persiapan Penyambutan Kemerdekaan Republik Indonesia). Ada
empat dokter yang dianggap sebagai tokoh pejuang Kalimantan Timur,
yaitu dr. Sendok di Bulungan, dr A. Rivai, dr. Soewondo, dan seorang
52
dokter lagi yang bertugas di Berau. Kemudian berdiri sebuah gerakan
yang diberi nama Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) pada tanggal 23
September 1945 dengan pemimpinnya R.P. Yoewoono, Bustani H.N,
Djunaid Sanusie, M. Asnawie, dan Chairul Badar.
Organisasi–organisasi inilah yang mempelopori setiap gerakan
yang ada di Samarinda, termasuk pengibaran bendera Merah putih di
depan rumah sakit Karang Mumus. Atas peritiwa tersebut, dr. Suwaji
oleh Belanda dipindah-tugaskan ke Palu di Sulawesi. Belanda
selanjutnya mengeluarkan larangan berorganisasi yang ditandatangani
oleh Kapten Bhinkuizen dan Komandan Kepolisian Inspektur Van De
422