Page 35 - Potret Perjuangan Bapak Hukum Agraria Prof. Boedi Harsono
P. 35
Oloan Sitorus & Taufik N. Huda
Sayangnya pada masa itu kesempatan untuk bersekolah di
HIS amat sangat terbatas, hanya kalangan atas (bangsawan, anak
pegawai negeri) yang bisa menyekolahkan anaknya. Untuk lebih
memformalkannya pemerintah mengundangkannya dalam
Staatblad No. 359 Tahun 1914. Peraturan tersebut memuat empat
dasar penilaian layak tidaknya seseorang menyekolahkan anaknya
di HIS, yaitu keturunan, jabatan, kekayaan, dan pendidikan. Berda-
sarkan peraturan tersebut maka para anak bangsawan otomatis
boleh mengenyam HIS, begitu pula anak pejabat seperti wedana,
demang, dsb. Di luar itu penghasilan orang tua paling tidak sekitar
Fl. 100 per bulan, dan pendidikan orang tua minimal MULO atau
yang setingkat. 17
Persyaratan yang berat tersebut mutlak perlu diterapkan
karena pemerintah kolonial memang merencanakan HIS sebagai
standen school (sekolah kasta, sekolah ningrat, sekolah berdasarkan
status). Sungguhpun begitu, praktiknya berbeda. Dalam kenya-
tannya mayoritas orang tua siswa HIS berpenghasilan kurang dari
Fl. 100 (atau golongan F/II) sebulan. Termasuk dalam golongan
ini antara lain pegawai, pengusaha kecil, militer, petani, nelayan
dan orang tua yang pernah mendapat pendidikan HIS. Dari hal
tersebut maka nyatalah bahwa HIS telah membuka pintu untuk
mobilitas sosial. Jika sebelumnya hanya anak bangsawan yang
bisa mengenyam pendidikan Belanda, kini dengan HIS anak-anak
pegawai rendah dan golongan swasta juga memperoleh kesem-
patan untuk melampaui tingkat yang pernah dicapai oleh orangtua
18
mereka. Antusiasme masyarakat golongan menengah yang “rela
berkorban” untuk menyekolahkan anaknya ke HIS menjadi suatu
17 Sartono Kartodirdjo, dkk. op.cit. hlm. 146.
18 Ibid, hlm. 151.
22