Page 111 - 3 Curut Berkacu
P. 111
Pasar Senen di Hari Minggu 93
rasakan. Meskipun demikian, gue selalu menjaga keduanya dan selalu memberinya kasih sayang. Jika ada yang berani menyentuhnya, dengan sigap gue halau dengan jurus ‘pukulan maut’ dan ‘gigitan serigala’. Ya, maklumlah... namanya juga masih anak kecil.
Bisa bayangkan kan tersiksanya diriku saat itu, semuanya jadi tidak nyaman. Untuk menjaga bisul di pantat, gue harus tidur miring ke kiri. Tapi kan bisul satunya berada di ujung atas mata kiri gue, jadi pasti bakal ‘kegencet’ dengan bantal, dan itu menyakitkan. Kalau mau tidur terlentang juga tidak mungkin, bisul pantat akan meronta. Memilih tidur miring ke kanan, bisul pantat masih merasakan tekanan. Akhirnya pose tidur yang harus gue jalanin adalah tengkurap dengan mendongakkan kepala, tapi lama-lama leher gue juga pegel. Atau tidur miring ke kiri dengan kepala mendongak layaknya tidur terlentang. Aneh kan? Itu lah suka duka dalam kebisulan.
Hari demi hari, lambat laun kedua bisul ini semakin ‘mateng’ dan siap ‘petik’. Tubuh jadi demam dan rasa ‘nyut- nyut’ semakin menggerogoti. Suatu malam, nyokap tiba- tiba membangunkan gue.
“Nak, ayo bangun, sayang...” sapa nyokap sambil membelai gue lembut.
Gue lihat ada bokap juga di sampingnya.
“Mau makan duren, kan?” lanjut nyokap sambil tersenyum.
“Emrghh... mau, Ma! Mauu...!” balas gue dengan nada manja.
Duren, memang makanan buah paling favorit buat gue. Kedua orang tua gue selalu saja paham dengan