Page 222 - 3 Curut Berkacu
P. 222

 204 3 Curut Berkacu
biar Iqbal yang pake sendoknya.
“Kenapa Bima gak ke sini ya, Bal?”
“Tadi gue liat dia di kantin, kayaknya dia gak peduli
gitu sih.”
“Gak tau juga deh!”
Iqbal seakan tidak terlalu menghiraukan sikap Bima. Tapi gue jadi kesal melihat tingkah Bima yang acuh dan terkesan egois itu. Apa mungkin karena terlalu banyak menarik nafas dalam-dalam sampai benar-benar menjadi over-relex dan berevolusi menjadi cuek.
Seusai kami makan, seorang dokter datang, bertanya- tanya tentang keadaan Iqbal, mengecek balutan perban dan memberikan saran cara menjaga luka jahitannya. Katanya, luka ini tidak boleh kena air dulu, karena bisa jadi infeksi dan itu memperlambat proses pemulihan. Terus, jahitannya bisa dibuka setelah 4-7 hari, tergantung kondisi pemulihannya. Setelah itu, kami diperbolehkan meninggalkan ruang kesehatan.
Sejak keluar ruang kesehatan, gue terus mendampingi Iqbal. Kami kemudian ke mesjid untuk menunaikan shalat dzuhur meskipun sesi jamaah sudah terlewat. Sorot mata gue tak lepas darinya. Setiap Iqbal melihat gue yang memerhatikannya, dia hanya tersenyum seakan berkata, ‘terimakasi atas perhatian lu, Yu!’
Saat gue dan Iqbal sedang melepas sepatu, Bima tiba-tiba muncul dan hendak shalat juga, ia mendekati Iqbal dengan terbata-bata.
“Bal, lu sudah mendingan?” tanyanya lirih.
“Iya, Bim, Alhamdulillah,” jawab Iqbal.
“Sukur deh, ya udah gue duluan ya,” lanjut Bima






















































































   220   221   222   223   224