Page 84 - 3 Curut Berkacu
P. 84

 66 3 Curut Berkacu
soto gue berubah warna menjadi kemerahan dengan hiasan biji-biji cabe kekuningan. Selanjutnya wadah sambal gue sodorkan ke Bima yang dilanjutkan ke Iqbal.
Suap demi suap soto gue kunyah dengan cepat. Suap demi suap pula, congor gue merasakan panasnya kuah soto dan pedasnya sambal. Keringat gue bercucuran dan mata gue berair menahan linangannya seakan tak kuasa membendung rasa pedas sambel yang benar-benar ‘nendang’ gak karuan. Sesekali gue meletakkan sendok di mangkuk trus menggaruk kepala sambil menyeka keringat pedas yang mulai membanjiri kepala hingga wajah gue.
“Huuhhhh... haaah... huaaah... aaah... oooh...,” desah gue.
***
Hingga pada penghujung sore, gue akhirnya berpisah dengan Iqbal dan Bima. Kami kembali ke peraduan masing- masing. Perut sudah kenyang. Cacing-cacing kembali tenang. Yang tersisa, rasa panas sambal di bibir gue yang jontor dan merah merekah. Gue pun tiba di rumah dengan rambut dan seragam Pramuka yang acak-acakan serasa banci yang baru pulang abis bokingan sampe sore. Eh, tapi banci gak ada yang mangkal dengan seragam Pramuka sih, hehehehe...!
Gue duduk di sisi pembaringan gue di kamar, menatap tubuh gue yang terpantul dari sebuah cermin yang terpajang di tembok. Gue tersenyum. Gue sangat menikmati hari ini. Wajah lucu Bima masih terbayang, membuat gue sesekali tersenyum sendiri. Wajah berwibawa Iqbal mengikuti bayang-bayang itu, membuat semangat gue semakin




























































































   82   83   84   85   86