Page 44 - deCODE Vol 2/2018
P. 44

 Aila’s POV
Kalian pernah merasakan bagaimana rasanya tidak diinginkan oleh keluarga sendiri?
Atau diasingkan oleh ibu, ayah, dan kakak kalian sendiri karena tidak
sama seperti mereka? Bahkan lebih parahnya lagi kalian pernah merasakan bagaimana rasanya ibu kandung kalian sendiri berniat membuang kalian karena kalian cacat?
Ya, semua itu aku rasakan. Karena aku cacat, aku diasingkan oleh keluargaku sendiri. Karena aku cacat, kakakku tidak mau mengakuiku sebagai adiknya didepan teman-temannya.
Karena aku cacat... aku harus menerima segala cacian dan makian yang orang-orang lemparkan kepadaku tanpa bisa ku balas. Ya, aku tidak
bisa berbicara normal seperti kalian, memanggil ibu pun aku tidak bisa. Tidak bisa berjalan normal seperti kalian, merangkak pun aku tak bisa.
Bahkan... tidak bisa melihat normal seperti kalian. Melihat betapa indahnya taman di pagi hari ataupun gemerlap lampu di malam hari. Pantas seluruh keluargaku ingin membuangku.
aku memang anak cacat yang
tidak diinginkan. Lalu, aku harus menyalahkan siapa? Tuhan?
Selama 17 Tahun hidupku, aku diurus oleh pembantu rumah ini. Bi Asih
lah yang selalu mengurusku layaknya aku anaknya tanpa memperdulikan kecacatan yang aku alami. Ibuku? Seperti yang aku ceritakan tadi, ibuku tidak menginginkan aku.
Dia selalu saja menyalahkanku
atas ketidaksempurnaan yang aku miliki sebagai aib keluarga. Selalu menyembunyikan aku ketika teman- temannya berkunjung kerumah dan selalu berteriak marah kepadaku saat aku berbicara karena tidak mengerti kata-kataku. Namun walaupun begitu, aku tetap menyayanginya. Setiap malam ketika ibuku terdidur di sofa karena lelah menunggu ayahku pulang, aku diam-diam menciumnya.
Karena kalau dia tersadar mungkin dia sudah memarahiku. Pun dengan kakakku. Dia malu mengakui aku sebagai adiknya di depan teman- temannya. Pernah suatu hari, aku sedang berjemur di taman depan rumah, aku mendengar suara bising mobil yang masuk ke dalam halaman rumah. Lalu suara orang-orang mulai mendekat.
“hahaha, tapi gapapa kita kerumah lo Ga?” Suara laki-laki masuk ke dalam pendengaranku, oh teman-teman kakakku, Angga. “iya gapapa, selow. Iibu sama ayah gue lagi kerja.”
Lalu tiba-tiba mereka berhenti berbicara. Aku bingung, apakah mereka semua sudah masuk rumah? Lalu aku berniat memanggil Bi Asih karena matahari sudah mulai terik. “Ii.. A.. Ihh...” teriakku dengan kencang, yang keluar dari mulutku hanya suara membeo yang tidak enak untuk didengar.
“Angga ini bocah cacat siapa? Adek lo?” Orang itu menarik kursi rodaku dengan kencang sehingga membuat aku tersungkur ketanah. Sakit sekali...
  46 deCODE Magazine
















































































   42   43   44   45   46