Page 208 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 208
39 Gouvernement en bergcultures (Pemerintah dan budidaya
tanaman gunung)
Dengan Gouvernementsbesluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 23 Juni 1913 (Bijblad /
Lembaran tambahan no. 7858) dibentuk sebuah komisi yang harus memberikan nasihat
kepada pemerintah, para kepala departemen, dan para kepala pemerintah daerah mengenai
industri pertanian di Jawa dengan pengecualian industri gula. Badan pengurus harian
Nederlandsch-Indisch Landbouwsyndicaat / NILS (Sindikat Pertanian Hindia Belanda) (1908)
dibebani dengan pelaksanaan pekerjaan itu. NILS adalah bentuk hubungan kerja sama dari
perhimpunan dan partikulir dalam budidaya tanaman gunung di Jawa: kopi, teh, kina, dan
karet. Tujuan NILS adalah untuk menjaga kepentingan anggotanya dalam arti yang paling
luas. Seperti organisasi yang setara, Algemeen Syndicaat van de Suikerfabrikanten (Sindikat
Umum Pengusaha Pabrik Gula), NILS juga secara teratur harus berunding dengan pemerintah
Hindia, misalnya mengenai masalah pajak, upah minimum, dan tarif angkutan. Pada tahun
1925 NILS direorganisasi menjadi Algemeen Landbouwsyndicaat / ALS (Sindikat Pertanian
Umum), sebuah federasi yang terdiri dari empat ikatan pemilik perusahaan, masing-masing
perusahaan kopi, teh, kina, dan karet. ALS mempunyai perwakilan di Belanda. Pada tahun
1929, pemberian advis tentang masalah umum, seperti masalah perpajakan dan perundang-
undangan tenaga kerja, dialihkan kepada Indische Ondernemersbond (Perhimpunan
Pengusaha Hindia): selanjutnya, Landbouwsyndicaat (Sindikat Pertanian) hanya memusatkan
perhatian mereka pada masalah-masalah yang terkait dengan budidaya tanaman gunung saja.
Krisis ekonomi tahun 1929 dan depresi yang terjadi berikutnya merupakan alasan pemerintah
Hindia untuk melibatkan diri secara sungguh-sungguh dengan budidaya tanaman gunung.
Perkembangan dalam pelibatan itu dilakukan secara bertahap. Budidaya tanaman kopi, yang
pada dekade terakhir abad ke-19 didera penyakit daun, berkembang kembali setelah tahun
1900. Pada akhir Perang Dunia Pertama (1914-1918), budidaya tanaman teh menguat. Setelah
tahun 1920, perkembangan budidaya tanaman karet sangat mencuat. Dalam bidang tanaman
kina, Hindia-Belanda mempunyai posisi monopoli: pada abad ke-20 Hindia-Belanda bisa
memenuhi 97% kebutuhan dunia.
Penurunan harga karet yang tajam menyebabkan adanya persetujuan internasional pada tahun
1934 antara Belanda, Inggris, Perancis, dan Thailand untuk membatasi jumlah produksi
mereka. Pemerintah Hindia dengan sukses berhasil mencoba bevolkingsrubbercultuur
(budidaya tanaman karet rakyat) dalam pemasokan berdasarkan kuota yang sudah ditentukan.
Perjanjian, yang berlaku untuk 5 tahun, pada tahun 1939 diperpanjang lagi untuk periode yang
sama. Setelah gagalnya perundingan internasional antarprodusen teh untuk mengurangi
produksi, maka pemerintah Hindia-Belanda, Hindia-Britania, dan Srilanka pada tahun 1933
membuat suatu restrictieovereenkomst (perjanjian pembatasan) selama 5 tahun. Pelaksanaan
perjanjian pembatasan itu dibebankan kepada International Tea Committee (Komite Teh
Internasional). Negara-negara yang terlibat mempunyai wakil-wakil di organisasi tersebut.
Perjanjian itu juga diperpanjang pada tahun 1938. Dalam rangka kerja sama ekonomi antara
207