Page 31 - Buku Toponimi Vorstenlanden Bab 1
P. 31
Setelah Perjanjian Giyanti disepakati pada 13 Februari 1755, kerajaan
Mataram secara resmi dibelah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta. Surakarta dipimpin Pakubuwana III, sementara Yogya-
karta berada di bawah kekuasaan seorang pangeran pemberontak bernama
Mangkubumi. Ketika menjadi sultan, Mangkubumi menobatkan dirinya dengan
gelar Hamengkubuwana I. Perjanjian Giyanti memang bisa meredam konflik
dan peperangan antara Pakubuwana III dan Mangkubumi, tapi tidak serta merta
dapat menyelesaikan persoalan pelik lain. Salah satu masalah yang tidak segera
rampung setelah Giyanti ditandatangani adalah batas kerajaan. Isi perjanjian
memang mengatur soal batas kerajaan. Namun di lapangan, tidak ada tanda
atau patokan yang pasti sampai sejauh mana wilayah kekuasaan masing-
masing. Baru tujuh dasawarsa kemudian, ketika pemerintah kolonial kerepotan
dengan meletusnya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Dipanegara,
muncul inisiatif mendirikan batas kerajaan yang jelas dan permanen.
Perjanjian Klaten Pada 27 September 1830, dua bulan setelah Perang Jawa
berakhir, Belanda mendorong kedua kerajaan untuk menetapkan suatu batas
di antara mereka. Maka diadakanlah sebuah kesepakatan yang kelak terkenal
dengan sebutan Perjanjian Klaten. Seperti dikutip L.G. Jabbar dalam skripsinya
di Universitas Negeri Yogyakarta berjudul Perjanjian Klaten 1830: Dampaknya
pada Kasultanan Yogyakarta (2016), pasal pertama perjanjian itu menyatakan:
“untuk menetapkan batas pemisah yang dibuat umum dan permanen, pada hari
ini dan untuk seterusnya daerah Pajang dan Sukowati menjadi milik Paduka
Susuhunan dan daerah Mataram dan Gunung Kidul menjadi daerah Paduka
Sultan Yogyakarta”
Bangunan yang dijadikan penanda adalah Tugu Tapal Batas yang berada
di antara lereng pegunungan daerah Klaten dan Gunung Kidul. Pendi rian tugu ini
didasari pasal ketiga yang berbunyi: “Garis batas antara daerah Pajang dan
23