Page 143 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 143

MODUL 2


               Mencuci tangan.

                     Kebiasaan yang kini sering sekali kulakukan setiap harinya, dalam hampir tiga
               bulan  ini.  Kebiasaan  baru,  yang  mungkin  juga  menghinggapi  banyak  orang  di  masa
               pagebluk ini. Satu-satunya cara yang disepakati, di samping penjarakan fisik atau

               sosial, yang bisa mengurangi kemungkinan tertular wabah yang ganas ini. Cara lain?
               Kebijakan pemerintah? Sudah lebih dari sebulan ini tak kupedulikan lagi.
                     Menyaksikan kedua telapak tanganku di antara busa sabun dan kucuran air, aku
               merasa keduanya berwarna lebih terang dari bagian lain tubuhku.
                     Rumah sepi sekali. Pintu depan tertutup. Tak seperti biasanya. Kalau tak hujan,
               pintu depan selalu dibuka oleh istriku sepanjang hari sehingga matahari pagi sampai
               sore merangsek masuk dari depan dan belakang rumahku.
                     Anak dan istriku tak ada. Juga pengasuh anakku yang tinggal di kamar belakang.
               Ah, mungkin mereka semua sedang jalan kaki keluar kompleks perumahan kami yang
               tak  besar,  membeli  sayur  dan  kebutuhan  lain  untuk  seminggu  ke  depan  di  tukang
               sayur dan toko kelontong di perempatan jalan di seberang gerbang perumahan.
                     Setelah  meramu  segelas  kopi,  aku  lalu  duduk  di  teras  belakang,  teras  kamar
               utama,  menghadap  kebun  kecil  yang  hanya  berisi  rerumputan  dan  beberapa  pot
               tumbuhan pendek. Tempat favoritku, karena di titik itulah, di atas kursi rotan di sudut
               teras,  aku  bisa  membuka  laptop  atau handphone-ku  sambil  mengisap  berbatang-
               batang rokok dengan tenang. Sudah hampir delapan tahun ini, sejak istriku hamil lalu
               lahir dan tumbuh anak kami, aku tak bisa lagi merokok di dalam rumah.
                     Sekilas  kulihat  bangkai  kecoak  di  sudut  teras.  Tampaknya  korban  baru  dari
               kucing peliharaan kami yang baru berusia dua bulan. Di mana dia?
                     Tak  sempat  memikirkannya  lebih  jauh,  aku  mulai  menjelajah  dunia  di
               genggamanku. Tentu saja media sosial dulu. Newsfeed Facebook kugulung dari atas
               ke bawah, dan sebaliknya. Juga Twitter. Lalu pindah ke Instagram. Bolak-balik. Ritus
               yang sama, tiga bulan lebih ini.
                     Setelah beberapa saat, aku terusik dengan sesuatu yang melintas-lintas di layar
               HP-ku.  Ada  beberapa  berita  kematian.  Entah  teman  medsos  yang  memang  kutahu,
               atau temannya teman medsosku yang tak kukenal. Ah, hari seperti ini lagi. Hari-hari
               ketika  kau  merasa  kematian,  maut,  berlintasan  di  sekitarmu.  Dan  wabah  ini
               membuatnya jadi lebih kerap terjadi.
               Kopiku terasa lebih pahit dari biasanya.
                     Aku  berusaha  mengalihkan  perhatian  dengan  mulai  membuka-buka  portal
               berita. Atau unggahan-unggahan lain di medsosku yang bukan berita duka. Beberapa
               saat aku  terseret dari satu berita, atau sekadar  cerita kosong, ke berita atau cerita
               kosong yang lain.
                     Sudah batang kedua. Kopiku tinggal separuh. Aku sempat berpikir, kenapa anak
               istriku, dan pengasuh anakku, belum pulang. Belanja di mana mereka? Ah, sudahlah.
               Biarlah. Mereka butuh sedikit penyegaran dari berbulan-bulan karantina di rumah.
                     Melihat  satu  sudut  taman  kecil  di  depanku  tersiram  cahaya  matahari,  yang
               berhasil masuk dari sesela langit  di antara bangunan-bangunan rumah tetangga di
               samping dan belakang rumahku, aku sempat berpikir untuk berjemur. Meminum





                                                           133
   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148