Page 33 - Pelangi Persahabatan – Kumpulan Cerpen Karya Murid SD di Kabupaten Bombana
P. 33
OPER JABATAN
Oleh : Intan Andriani
Pagi yang lumayan dingin. Langit mendung menggantung. Aku dan Aiping berjalan
bersama menuju sekolah. Ini Minggu pertama Aiping sekolah di tempat aku juga bersekolah.
Ia juga sekelas denganku. Aiping adalah sepupuku yang baru saja pindah dua minggu lalu
dari Samarinda.
Hari ini hari pemilihan ketua kelas. Bu Neni akan mengadakan pemilihan ketua kelas
karena telah memasuki tahun ajaran baru.
“Siapa tahun ini yang mau calon ketua kelas?”
Kelas hening. Aku tak tahu kenapa teman-temanku tak ada satu pun yang berani jadi
ketua. Aku sudah hafal keadaan ini. Sejak enam tahun yang lalu. Akhirnya, hanya aku
satu-satunya calon yang mau mendaftar sebagai ketua.
“Saya, Bu.” begitu kataku sambil mengangkat tangan.
“Bagus. Jelita Agustin,” Bu Guru menulis namaku di papan, “Siapa lagi?”
“Saya, Bu.” Aiping mengacungkan tangannya sambil tersenyum simpul.
Aku mulai merasa terganggu. Seingatku, semalam saat kami berbincang, ia tak pernah
mengatakan ingin menjadi ketua kelas. Ia memang aktif di pramuka, olahraga, dan paduan
suara gereja. Tapi itu dulu, waktu masih di Samarinda. Aku tak bisa membiarkan ini. Aku
yang duduk agak jauh dari Aiping mulai memprovokasi teman-teman.
“Pokoknya jangan pilih dia. Dia kan Cina.”
“Iya, ih. Lihat tuh matanya sipit.”
“Dia pasti pelit.”
Teman-teman yang dekat dengan bangku tempat aku duduk mulai terpengaruh.
Mereka memutuskan untuk memilihku. Aku senang. Hingga saat penghitungan suara, aku
kaget bukan main. Nilai kami seri. Kami bingung bagaimana memutuskannya.
“Ibu belum ambil suara, kan?”
Kami semua terdiam sebab selama ini Bu Neni tidak pernah ikut memilih. Pilihan Bu
Neni pun di luar perkiraan kami. Ia memilih Aiping. Alasannya ia ingin memberi kesempatan
kepada murid baru yang berani menjadi calon.
“Tapi, Bu. Dia kan Cina.”
Aku tak tahan merasa diperlakukan tidak adil.
“Lantas? Aiping Cina. Kamu Moronene. Ibu Makassar. Teman-teman kamu ada yang
Minangkabau, ada yang Maluku. Pemimpin dipilih karena dianggap mampu. Bukan karena
dari mana dia berasal.”
Selama berbicara, Bu Neni tampak selalu tersenyum manis. Ia tampak tidak terganggu
dengan pertanyaanku yang terdengar ketus. Ia memang selalu bersemangat bila berbicara
tentang keanekaragaman suku di Nusantara.
“Kita memilih ketua kelas berdasarkan jumlah suara terbanyak, bukan karena ciri
fisiknya sama atau berbeda dengan kita.”
Bu Neni menutup pemilihan ketua kelas dengan kalimat yang terus terngiang di
kepalaku. Aku menjadikan kalimat itu sebagai bekalku menghadapi semua perbedaan.
*****
19