Page 43 - Pelangi Persahabatan – Kumpulan Cerpen Karya Murid SD di Kabupaten Bombana
P. 43
JANGAN MELALAIKAN SALAT
Oleh : Ivan Muhammad Iksan
Di hari Minggu yang cerah, Aku, Reza, Arul, dan Fahri sedang bermain di ruang tengah.
Kami berempat asyik bermain monopoli sejak pagi hingga siang hari.
“Panas sekali cuacanya, ya. Tolong nyalakan kipas anginnya!” Seruku pada Arul
yang duduk di sisi kipas angin. Ia pun segera memencet tombol kipas.
“Yang tombol maksimal, dong, Rul. Soalnya ini panas sekali.” Pinta Fahri, karena
posisi duduknya tidak terjangkau kipasan angin.
“Iya.” Balas Arul kepada Fahri. Setelah kipas angin berputar, kami pun melanjutkan
permainan. Selang beberapa saat, tampak Reza yang gelisah.
“Duh, aku lapar nih, Vega.” Keluh Reza padaku.
“Coba kau ke dapur sana, ada ibuku yang sedang memasak, bilang saja ke ibu
kalau kita ingin makan.” Kataku dengan nada yang agak kesal.
“Hmmm, tidak usah, deh, nanti saja sekalian kita makan bersama.” Jawab Reza.
Kami pun kembali melanjutkan permainan, dan sekarang adalah giliran Reza kembail
untuk mengocok dadu.
Tak selang lama. Terdengar suara ibuku yang memanggil kami untuk makan
bersama. Reza langsung bersorak gembira. Kami pun bergegas menuju dapur. Setelah
makan, teman-temanku pamit untuk pulang.
Aku hendak merapikan dadu dan lembaran uang monopoli yang berserakan,
namun rupanya satu daduku hilang. Kucari ke bawah meja dan kursi, tapi tak ada.
Kutanya pada Ayah yang sedang membaca koran di ruang tamu, ia justru balik
mempertanyakannya, “Memangnya dadumu bisa jalan ke ruang tamu?” Ucapnya
sambil tertawa. “Salat dulu, sana! Sudah jam berapa ini, kamu hanya asyik bermain
sampai lupa waktu dzuhur. Nanti saja urusan cari dadunya.” Perintah Ayah. Ibu pun
menyarankan hal yang sama.
Tetapi, bukannya bergegas untuk mengambil air wudhu, aku justru masih mencari
dadu itu. Sekali lagi ayah dan ibu memperingatkanku untuk salat, dan aku tetap tak
mengacuhkan mereka. Aku masih membungkuk mencari dadu itu ke bawah perkakas
rumah. Sampai kemudian tanpa sadar, saat hendak berdiri, kepalaku membentur
ujung meja kaca. Benturan yang keras sekali sebab aku masih bisa merasakan kaca
yang pecah dan darah yang mengucur dari kepalaku.
Aku tidak tahu sedang berada di mana, aku baru saja siuman dari pingsan, kulihat
ruangan serba putih yang sungguh berbeda dari kamar tidurku. Samar di hadapanku,
ibu dan ayah yang duduk menungguiku di sisi ranjang.
“Kamu sudah sadar, Nak?” Sambut ibu dengan wajah cemasnya.
“Kita sedang di mana ini, Ibu?” Kataku pelan.
“Di rumah sakit. Kamu pingsan lama sekali.” Jawab ayah.
“Duh, kenapa kepalaku sakit sekali.” Rintihku yang merasakan nyeri di kepala.
“Kepalamu terluka, Nak. Itu sudah dijahit dan diobati.” Jawab ayah.
“Aku mau dzuhur dulu. Aku ingat waktu itu ayah dan ibu menyuruhku salat tapi aku
malah sibuk mencari daduku.”
27