Page 22 - bahan ajar sejarah
P. 22
Akhir perlawanan ditandai dengan adanya perundingan antara Shodancho Muradi dengan
Kolonel Katagiri di kediaman almarhum Purwosudarmo di daerah Ngancar pada tanggal 21 Februari
1945 pukul 18.00 WIB. Kolonel Katgiri menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Shodancho Muradi.
Sebagai penguat janji maka kolonel katagiri melakukan ritual penyerahan pedang samurai kepada
Shodancho Muradi (Anhar, 1982:65). Setiap orang sudah paham bahwa penyerahan samurai
merupakan adat istidat Jepang yang menunjukkan kesungguhan dan kejujuran terhadap suatu ucapan
atau janji, apalagi penyerahan ini dilakukan pada pertemuan resmi dan dilakukan oleh Perwira Jepang
sebagai wakil pemerintahan Jepang. Hal inilah yang membuat Shodancho Muradi dan kawan-
kawannya mempercayai Kolonel Katagiri
Perundingan selesai sekitar pukul 19.30 WIB. Shodancho Muradi naik ke sedan bersama Kolonel
Katagiri dan pasukan lainnya mengikuti di belakangnya. Selanjutnya rombongan melewati daerah
Wates dan langsung menuju ke asrama daidan Blitar. Muradi dan pasukannya tiba di asrama sekitar
pukul 23.00 WIB. Setelah tiba keseluruhan pasukan pemberontak yang berjumlah sekitar dua ratus
orang langsung berbaris dan Shodancho Muradi segera melapor ke Dai Ni Daidancho bahwa pasukan
PETA yang melakukan aksi perlawanan telah siap kembali ke daidan.
Akan tetapi ternyata janji Kolonel yang disertai ritual penyerahan samurai diingkari. Hal tersebut
menunjukkan kelicikan Jepang, janjinya bahwa tidak akan melucuti senjata pasukan pemberontak
setelah kembali ke daidan ternyata tidak terbukti. Jepang ternyata telah melucuti senjata dari pasukan
PETA yang baru saja kembali. Jepang juga menyiksa dan menghukum Shodancho Muradi dan
pasukannya. Setelah melakukan pemeriksaan dan penyiksaan di Blitar pihak Jepang kemudian
membawa pemimpin utama perlawanan yaitu Shodancho Muradi ke Jakarta untuk diadili oleh
Mahkamah Militer Jepang. Setelah melaksanakan sidang sebanyak tiga kali, akhirnya mahkamah
militer Jepang menjatuhkan hukuman kepada pasukan PETA yang dianggap sebagai pemberontak
dengan hukuman yang paling ringan adalah penjara dalam waktu bulanan dan yang paling berat
adalah hukuman mati. Tentara PETA yang mendapatkan hukuman mati, dilaksanakan di Eereveld Ancol
tanggal 16 Mei 1945 (Poesponegoro & Notosusanto, 2008:115-117).
PERLAWANAN TENTARA PETA BLITAR
14