Page 129 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 129
Jawa Barat dan di desa Mendungan, Jawa Tengah).
Mertelu, penyakap menerima 1/3 bagian dan pemilik tanah menerima
2/3 bagian dari hasil kotor. Saprodi menjadi beban seluruhnya (di desa
Kawarasan, Jawa Tengah).
Meropat, penyakap menerima 1/4 hasil kotor dan pemilik tanah 3/4
bagian. Biaya saprodi semua menjadi tanggungan tanah (di desa
Kawarasan, Jawa Tengah).
4. Pengaruh Sakap Menyakap terhadap Pemakaian Teknologi
Dalam sakap menyakap dimana biaya saprodi seluruhnya menjadi beban
si penyakap mempengaruhi kesediaan penyakap untuk memakai saprodi.
Studi kasus di desa Mendungan (Yogyakarta) menunjukkan bahwa walaupun
semua petani masih menggunakan pupuk di bawah tingkat yang disarankan
penyuluh pertanian, tetapi petani penyakap menggunakan pupuk masih lebih
rendah dari petani pemilik dan penyewa (penyakap, penyewa dan pemilik
masing-masing memakai pupuk hanya 57%, 72% dan 85% dari dosis yang
disarankan penyuluh), Studi tersebut menyimpulkan pemakaian pupuk yang
rendah oleh penyakap disebabkan kenaikan hasil sebagai akibat pemupukan
harus dibagi dua antara pemilik dengan penyakap sedangkan biaya pupuk
dipikul sendiri oleh penyakap. Bila tingkat pemakaian pupuk mempengaruhi
produktivitas tanah, hubungan sakap menyakap diduga akan mempengaruhi
efisiensi (antara lain produktivitas) penggunaan tanah.
B. HUBUNGAN KERJA (KONTRAK KERJA) DALAM PERTANIAN
PADI DI JAWA
1. Sistim “Ngepak-Ngedok”
Dahulu buruh tani di desa di Pulau Jawa bebas mendapat kesempatan
bekerja sebagai buruh panen (“derep”), bahkan buruh tani dari luar desa
pun diberikan petani di desa yang bersangkutan untuk mengikuti panen
tanpa syarat. Dari hasil panenan buruh panen mendapat bagian tertentu
yang besamya berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain. Di Kabupaten
Karawang misalnya, pada tahun lima puluhan buruh panen menerima 1/5
bagian (20%) dari hasil panen. Bagian yang diberikan kepada buruh panen ini
disebut “bawon”. Pada akhir-akhir ini kesempatan sebagai buruh panen tidak
94