Page 116 - AKIDAH DAN ILMU KALAM E-BOOK
P. 116
Program utama Ibnu Taimiyyah, sebenarnya, tidak hanya terbatas pada masalah
takdir, melainkan “menemukan dan mengangkat kembali masyarakat Islam normatif
awal yang didasarkan pada ajaran al-Quran dan Sunnah, seperti ia melihatnya.”
Meskipun demikian, berbeda dengan para pendahulu Sunni-nya, ia dapat melihat
secara lebih kritis terhadap generasi awal Islam.
Konsep takdir Ibnu Taimiyyah secara sederhana adalah menerima takdir Tuhan
merupakan bagian esensial keyakinan Islam, tetapi meletakkan takdir sebagai maaf
atas kesalahan seseorang adalah dosa besar. Persoalannya, bagaimana Ibnu Taimiyyah
dapat mengompromikan dua hal yang bertentangan ini? Secara bertahap ia
mengemukakan tiga argumen yang satu sama lain saling menunjang.
Pertama, Kehendak Tuhan terdiri dari dua jenis atau dua tingkat yang berbeda.
Yang pertama ia sebut Kehendak Kreatif (iradah kawniyyah), yang kedua adalah
Kehendak atau Perintah (moral) keagamaan (iradah diniyyah). Kedua aspek
Kehendak Tuhan ini tidak hanya sejajar secara mekanis, tetapi disatukan dan
dimasukkan ke dalam aktivitas Tuhan yang bertujuan, yang ditolak oleh al-Asy„ari
(yang memandang, misalnya: seorang Muslim yang taat dapat dimasukkan ke neraka,
sebaliknya, seorang kafir dapat masuk surga; ini artinya, perintah Tuhan agar manusia
taat dan beribadah kepada-Nya tak ada konsekuensinya bagi nasibnya, kelak orang
semacam itu bisa celaka atau mendapatkan keselamatan, seluruhnya adalah Kuasa
Mutlak Tuhan). Penjelasannya tentang adanya kejahatan adalah bahwa untuk
mencapai kebaikan yang lebih besar hal itu diperlukan. Keburukan hanyalah
insidental terhadap kebaikan dan relatif kecil dibanding dengan melimpahnya
kebaikan.
Argumen kedua, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa takdir adalah Ketentuan
Tuhan yang komprehensif, yang merupakan objek keimanan dan bukan dasar
tindakan. Dalam kaitannya dengan keyakinan Muslim bahwa tidak ada sesuatu yang
terjadi tanpa Kehendak Tuhan yang besar, adalah tautologi untuk mengatakan,
misalnya, bahwa saya menulis baris-baris ini terjadi karena Kehendak Tuhan. Tetapi,
hingga tulisan saya benar- benar terjadi, saya tidak tahu apa Kehendak Tuhan tentang
tulisan saya. Karena itu, penisbatan saya atas tindakan, atau tindakan tertentu saya,
tidak dapat dinisbatkan dengan tepat kepada Tuhan hingga masalah itu telah berlalu.
108