Page 231 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 231
Omnibus law merupakan metode pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan
yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum
Dalam prosesnya, tak ada perbedaan dengan pembuatan UU yang dibahas di DPR Namun, isinya
mencabut atau mengubah beberapa UU terkait. Sektor ketenagakerjaan menjadi salah satu yang
diselesaikan melalui omnibus law. Seperti diberitakan harian ini kemarin, di sektor
ketenagakerjaan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan tujuh alasan
yang menjadi alasan mereka akan mengadakan mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 untuk
menolak RUU Cipta Kerja.
Pertama, Upah Minimum Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten
(UMSK) dihapus. Menurut KSPI, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab,
UMK setiap kabupaten atau kota berbeda nilainya. Kedua, pesangon berubah dari 32 bulan upah
menjadi 25 bulan, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar pemerintah lewat BP
Jamsostek. KSPI mempertanyakan sumber mana BP Jamsostek mendapat sumber dana untuk
membayar pesangon.
Ketiga, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup tidak ada batas
waktu kontrak. Buruh menolak PKWT seumur hidup. Keempat, outsourcing pekerja seumur hidup
tanpa batas jenis pekerjaan. Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis
pekerjaan. Kelima, waktu kerja tetap eksploitatif. Keenam, hak cuti hilang dan hak upah atas
cuti hilang. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas
cuti tersebut hilang. Ketujuh, hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena karyawan bisa
dikontrak dan outsourcing seumur hidup.
Sepanjang didahului dengan identifikasi dan pemetaan permasalahan yang komprehensif, skema
omnibus law bisa menciptakan efisiensi dan efektivitas karena menggabungkan beberapa aturan
yang substansi pengaturannya berbeda menjadi suatu peraturan besar.
Alangkah baiknya jika pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa dan kembali meninjau urgensi
secara komprehensif agar tujuan kebijakan RUU Cipta Kerja ini tepat sasaran, dan bisa diterima
semua pihak, terutama kaum buruh. Poin lain, omnibus law tidak perlu menyentuh perubahan
yang bersifat prinsipil dan mendasar serta memiliki implikasi terlalu besar. Proses transparan dan
kredibel tetap diperlukan. Dalam menggodok aturan ini, setiap elemen harus dilibatkan agar
omnibus law benar-benar menjadi payung hukum milik bersama, bukan golongan tertentu.
Juga yang harus menjadi perhatian, banyak negara yang kapok menggunakan model omnibus
law. Pengamat hukum dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Syafrani
mengatakan, negara-negara itu menganggap proses pembuatan omnibus law jauh dari proses
demokrasi yang deliberatif. Bahkan, mereka menyebut model omnibus law ini tidak demokratis
karena sering kali tak cukup waktu untuk membahas hukum dan bernegosiasi terhadap aspek-
aspek penting.***
230