Page 61 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 MEI 2021
P. 61
disikapi dengan kebijakan dan regulasi yang mengatur secara khusus terkait status hubungan
kerja dan kesejahteraan pekerja.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, Senin
(3/5/2021), mengatakan, tren pasar kerja ini harus diantisipasi oleh pemerintah. Di sejumlah
negara, termasuk Indonesia, kemunculan tren pekerjaan baru itu berdampak pada
kesejahteraan pekerja, mulai dari upah yang minim, nihil jaminan sosial, dan kontrak kerja yang
tidak jelas. Salah satunya adalah fenomena pekerja dengan kontrak kemitraan di ranah ekonomi
gig (gig economy) dan perusahaan rintisan digital.
Meski berkontribusi banyak pada perekonomian, tren kemunculan platform digital kerap diiringi
dengan buruknya perlindungan terhadap hak para pekerja. Para mitra tidak bisa berlindung pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena statusnya sebagai
mitra, bukan pekerja.
"Fenomena ini menciptakan isu hubungan kerja yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga di banyak negara maju," kata Faisal dalam diskusi Teknologi Digital dan Solusi
Ketenagakerjaan yang diselenggarakan CORE Indonesia secara daring.
Di Indonesia, aksi mogok kerja para kurir lepas Shopee Express, April lalu, didorong oleh
kebijakan penurunan upah kurir yang dinilai sepihak dan tidak adil. Para kurir dengan status
kerja kemitraan itu tidak digaji dengan standar upah minimum, melainkan skema tarif yang
ditentukan oleh manajemen perusahaan platform.
Dinamika serupa juga ditemukan di pengemudi taksi dan ojek online (ojol), pekerja gig lain yang
juga berstatus mitra. Sejak 2018, wacana untuk mengubah status pengemudi daring dari mitra
menjadi karyawan sudah ada, tetapi tidak bersambut.
Penelitian oleh Institute of Govemance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada, "Di
Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja 'Mitra' Industri
Transportasi Online", menunjukkan, alih-alih menciptakan kebebasan untuk para pekerjanya,
status hubungan kemitraan membuat para mitra atau pekerja gig rentan dieksploitasi.
Menurut Faisal, di negara lain, pemerintah mengeluarkan regulasi baru untuk merespons
persoalan yang timbul itu. Hal ini, misalnya, dilakukan di Spanyol dan Inggris. Faisal memandang,
tren ekonomi digital tidak bisa sekadar diikuti tanpa mengantisipasi dinamika persoalan baru
yang dibawa oleh tren tersebut. "Kita menyambut adanya digitalisasi dan potensi penyerapan
tenaga kerja yang tinggi. Akan tetapi, kita juga tidak ingin mendorong pekerjaan dengan kualitas
seperti ini," katanya.
Apalagi, dengan pesatnya digitalisasi dan dampak Covid-19, para pekerja lepas atau pekerja
ekonomi gig ini diprediksi semakin banyak. Salah satu indikatornya adalah bergesernya pekerja
dari sektor formal menuju informal. Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 oleh Badan Pusat
Statistik mencatat, akibat pandemi, per Agustus 2020, porsi pekerja formal menurun menjadi
39,53 persen. Sementara porsi pekerja informal naik menjadi 60,47 persen.
60

