Page 48 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 JULI 2021
P. 48
keluarga. Jumlah tersebut setara dengan 15 persen dari total 85 juta penerima pendapatan yang
meliputi pegawai, pekerja kasual, dan wiraswasta.
Ekonom Senior Vivi Alatas menyebut terdapat dua hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk
mengatasi hal tersebut. Pertama, Indonesia harus meningkatkan proporsi tenaga kerja yang
lulus tingkat pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) ke atas.
"Hanya 41 persen tenaga kerja di Indonesia yang lulus SMA atau ke atas. Laporan [Bank Dunia]
ini menunjukkan bahwa untuk mempunyai pekerjaan menengah atas maka paling tidak harus
lulus SMA," jelas Vivi dalam peluncuran laporan Bank Dunia "Pathways to Middle-Class Jobs in
Indonesia" secara virtual, Rabu (30/6/2021).
Vivi menjelaskan drop out sering terjadi ketika ijazah lulus sudah didapatkan oleh siswa lulus SD,
SMP, dan SMA. Pemerintah diminta untuk meningkatkan penyaluran insentif kepada siswa secara
tepat waktu atau pada saat masa-masa pendaftaran ke jenjang yang lebih tinggi. Vivi menilai
rentan waktu tersebut kerap menjadi momen bagi siswa dalam memutuskan untuk drop out.
"Beasiswa untuk SMP harusnya diberikan saat kelas 6 SD. Demikian juga untuk tingkat-tingkat
lainnya. Selain itu harus tepat jumlahnya agar sesuai dengan opportunity cost. Harus tepat
sasaran, dan tidak ada exclusion error. Lalu harus memberikan informasi cukup terkait dengan
pilihan bidang studi sesuai dengan minat dan bakat mereka, sehingga bisa menurunkan minat
untuk drop out," ujar Vivi.
Kedua, memberikan mereka kesempatan kedua salah satunya untuk upscaling dan rescaling bagi
yang sudah keluar dari bangku sekolah. Pasalnya, saat ini masih ada 128 juta pekerja yang masih
memerlukan upscaling dan rescaling.
Vivi lalu menyebut hanya ada 15 persen manajemen perusahaan yang memasukkan pelatihan
ke dalam isu prioritas, berdasarkan Survei Persepsi Ketenagakerjaan Terhadap Perusahaan
Manufaktur Sedang dan Besar oleh Bank Dunia.
Sementara, hanya ada 8 persen dari pekerja yang menganggap pelatihan sebagai prioritas.
Sebanyak 53 persen dari pekerja tersebut mengungkapkan bahwa alasan utama adalah tidak
tersedianya pelatihan yang sesuai.
Oleh karena itu, Vivi mengapresiasi program Kartu Prakerja karena menyediakan akses lebih
banyak terhadap pelatihan bagi seluruh masyarakat di penjuru daerah, serta mendorong
terciptanya lembaga-lembaga pelatihan baru.
"Ini bukan hanya pemerintah yang punya kewajiban, tapi ini adalah tanggung jawab bersama,"
katanya.
47