Page 26 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 OKTOBER 2020
P. 26
STRATEGI SERAP PEKERJA DINANTI
Pemerintah dan pengusaha optimistis investasi akan menyerap tenaga kerja. Sementara,
organisasi pekerja meminta jaminan serapan itu melalui cetak biru.
Anomali peningkatan investasi yang tidak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja
harus dijawab dengan rencana dan strategi konkret, serta peningkatan pengawasan untuk
menjamin kesejahteraan pekerja. Membenahi regulasi lewat Undang-Undang Cipta Kerja saja
tidak cukup untuk memenuhi janji pemerintah menyerap lebih banyak tenaga kerja dan
menyejahterakan pekerja. Perlu ada cetak biru dan pembenahan dari sisi implementasi.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, sejak 2015, realisasi investasi
yang masuk Indonesia selalu meningkat. Pada 2015, realisasinya Rp 545,4 triliun, lalu Rp 721,3
triliun pada 2018, dan Rp 809,6 triliun pada 2019. Namun, peningkatan investasi itu tak
berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja. Pada 2015, jumlah serapan tenaga kerja dari
investasi 1,44 juta orang. Pada 2018, jumlah serapannya turun jadi 959.500 orang dan tahun
2019 meningkat sedikit menjadi 1,03 juta orang.
Data BKPM juga menyebut, pada 2010, penyerapan per Rp 1 triliun dapat mencapai 5.014 tenaga
kerja. Pada 2019, penyerapan per Rp 1 triliun hanya mencapai 1.600 orang.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Kamis 05/10/2020),
mengatakan, anomali itu harus bisa dijawab pemerintah jika ingin meyakinkan publik, UU Cipta
Kerja akan menciptakan lapangan kerja berkualitas lewat peningkatan investasi. Untuk
merealisasikan janji itu, pemerintah perlu membuat cetak biru rencana
strategis pasca-berlakunya UU Cipta Kerja. "Jangan sampai UU berlaku, karpet merah investasi
sudah diberikan, tetapi penyerapan tenaga kerja tetap rendah. Pemerintah perlu menjabarkan
strategi konkret, bukan sekadar data proyeksi," ujarnya
Timboel menegaskan, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah pengawasan
ketenagakerjaan untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan pekerja terpenuhi oleh
pengusaha. Selama ini, regulasi yang seharusnya memberi perlindungan ke pekerja sering tidak
dijalankan.
Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 mencatat, mayoritas pekerja Indonesia menerima upah di
bawah standar minimum. Di Jakarta, ada 51 persen pekerja yang menerima upah di bawah U M
P. Di Surabaya dan sekitarnya, proporsi ini 60 persen. "Segi implementasi yang seharusnya
dibenahi pemerintah. Sayang, upaya penguatan ini tidak tampak dalam draf UU Cipta Kerja,"
kata Timboel.
Padat karya
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani menuturkan, saat ini ada
peluang investasi masuk akibat realokasi sejumlah pabrik dari China. Mayoritas perusahaan itu
di sektor padat karya, seperti alas kaki, garmen, elektronik, dan otomotif.
Karena itu, anomali peningkatan investasi yang tidak berbanding lurus dengan penyerapan
tenaga kerja seharusnya bisa tercapai dengan regulasi ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
Selama ini, aturan yang terlalu ketat dan biaya buruh yang mahal membuat investor sektor padat
karya enggan menanamkan modal.
"Anomali itu menunjukkan, selama ini investasi kita tidak efisien. Perlu ada juga cetak biru
mengambil peluang realokasi investasi saat pandemi," katanya.
25