Page 199 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 29 DESEMBER 2020
P. 199
No.Per-15/Men/VII/2005; c) Permenakertrans R.I. No.Per-11/Men/VII/2010; d)
Permenakertrans R.I. No. 04/2014; dan e) Permenaker R.I. No. 27/2015.
Demikian juga dalam RPP WKWI, perlu sekaligus mengatur kekosongan hukum mengenai WKWI
bagi pekerja dalam hubungan kerja pada sektor/sub-sektor dan pekerjaan tertentu lainnya,
seperti: sektor/sub-sektor angkutan minyak dan gas, angkutan jarak-jauh, baik bus antar-kota,
maupun angkutan barang (dengan truck-tronton), atau angkutan perairan dalam negeri. Selain
itu, perlu mengatur norma waktu kerja lembur (WKL), baik WKL di hari kerja biasa (yang sudah
berubah dan bertambah), atau WKL di hari istirahat mingguan dan/atau hari libur nasional (yang
juga pasti berubah).
Substansi -khusus- mengenai WKL, dapat diadopt dari Kepmenakertrans R.I. No.-Kep-
102/Men/VI/2004. Sebaliknya, untuk substansi mengenai upah kerja lembur (UKL) dalam
Kepmenakertrans R.I. No.-Kep-102/Men/VI/2004 tersebut, diatur terpisah (dan menjadi
substansi) dalam RPP Pengupahan.
Selain itu, perlu memperhatikan Konvensi International Labor Organisation- – ILO Nomor
106/1957 (concerning: weekly-rest), agar Indonesia tidak lagi dianggap sebagai Negara yang
mengabaikan dan melanggar standar weekly-rest. Karena selama ini, secara periodik Indonesia
selalu mendapat “note” dari ILO terkait dengan ketentuan dan praktek lembur yang menyimpang
dari standar ILO.
Keempat, RPP Pengupahan. Dari sisi penamaan RPP ini sepintas tidak bermasalah, akan tetapi
terdapat persinggungan materi muatan antara RPP Pengupahan dimaksud dengan RPP WKWI
khususnya tentang WKL dan UKL (lihat Pasal 81 butir 21,22 dan 23 UU Ciptaker mengenai
perubahan Pasal 77 ayat (5), 78 ayat (4) dan 79 ayat (6) UU 13/2003). Oleh karena itu RPP ini
perlu penegasan dan kejelasan, bahwa RPP ini hanya akan mengatur hal-hal (materi muatan)
yang berkenaan dengan upah.
Materi muatan RPP Pengupahan dapat diadop dari “PP R.I. No. 78 Tahun 2015” dengan
penambahan substansi dari Kepmenakertrans R.I. No.-Kep-102/Men/VI/2004 (mengenai UKL),
serta SE-Menakertrans R.I. No.SE-01/MEN/1982 mengenai Petunjuk Pelaksanaan PP No.8/1981
yang dapat menjadi bahan penjelasan RPP Pengupahan.
Kelima, RPP Tenaga Kerja Asing. RPP ini sepertinya tidak ada persoalan prinsip terkait
penamaannya, walaupun demikian materi muatan-nya perlu pencermatan mendalam, terutama
menyangkut anatomi tenaga kerja (TKA) dan masing-masing hubungan hukumnya yang menjadi
coverage pada RPP TKA tersebut.
Keenam, RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang merupakan RPP khusus sebagai bagian dari
sitem jaminan sosial nasional (SJSN). Materi muatan RPP JKM ini dapat di-adopt antara lain dari
Kepmenaker No. Kep-27/Men/2000 tentang Santunan Pekerja Migas. Walaupun roh-nya tidak
persis sama, akan tetapi setidaknya dapat menjadi acuan dalam penyusunan materi-muatan RPP
JKM dimaksud.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pengelompokan ideal aturan turunan dari UU Cipta
Kerja, sekurang-kurangnya harus dalam 6 (enam) RPP, yakni: a) RPP Hubungan Kerja Dan
Pemutusan Hubungan Kerja; b) RPP Alih Daya (Outsourcing); c) RPP Waktu Kerja Dan Waktu
Istirahat (WKWI); d) RPP Pengupahan; dan e) RPP Tenaga Kerja Asing (RPP – TKA); serta f)
RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan (RPP – JKP). Artinya, tidak bisa dipaksakan hanya dengan
empat RPP yang dapat berakibat hilangnya kejelasan rumusan dan kejelasan tujuan suatu
peraturan perundang-undangan dan bahkan -kemungkinan- tidak dapat dilaksanakan dengan
baik. Demikian, semoga bermanfaat.
*)Umar Kasim, S.H., dosen STHM Jakarta.
198