Page 10 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 SEPTEMBER 2020
P. 10

Kementerian  Luar  Negeri  mencatat,  sepanjang  2020  setidaknya  ada  beragam  kasus  yang
              melibatkan 237 WNI di 45 kapal ikan milik 13 negara. Sementara Badan Pelindungan Pekerja
              Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, ada 415 kasus terkait PMI sektor kelautan pada Januari
              2018-Mei 2020. Laporan terbanyak datang dari Taiwan, diikuti Korea Selatan, Peru, dan China.
              Kasus yang tidak terlapor dan terpantau dilaporkan dikhawatirkan lebih banyak.

              Kepala  BP2MI  Benny  Rharn-dani  mengatakan,  jaringan  sindikat  pemberangkatan  PMI  ilegal
              beroperasi sampai ke pelosok desa dan melibatkan orang di banyak negara. Jaringan operasi
              sebesar itu, antara lain, karena omzet bisnis pemberangkatan pekerja migran amat besar.

              Kepala  Unit  Pelayanan  Teknis  BP2MI  Banda  Aceh  Jaka  Prasetiyono  mengatakan,  calo  bisa
              mendapat Rp 20 juta untuk setiap calon PMI yang direkrut. Sebagian dari uang itu diberikan calo
              kepada  keluarga  PMI.  Uang  itu  untuk  meyakinkan  keluarga  PMI  bahwa  calo  bisa
              memberangkatkan PMI. Selain itu, meski para calo menyatakan gratis, faktanya para PMI ilegal
              harus membayar setelah mereka bekerja.

              Para  PMI  di  kapal-kapal  ikan  mengaku  gajinya  dipotong  paling  kecil  50  dollar  AS  per  bulan
              sebagai ganti aneka biaya untuk ke berangkatan. Bahkan, otoritas Taiwan pernah menemukan
              pemotongan hingga IOO dollar AS per bulan pada sejumlah PMI yang bekerja di kapal-ka-pal
              ikan Taiwan.

              Jika merujuk data Kemenlu soal jumlah PMI di kapal ikan di Taiwan dan Korsel saja, yakni 249.4-
              47 orang, sindikat bisa meraup 12,4 juta dollar AS (Rp 174,6 miliar) per bulan. Padahal, jumlah
              PMI di kapal-kapal ikan negara asing jauh lebih besar dari yang terdata.

              Tumpang tindih

              Selain laba sindikat, tumpang tindih peraturan juga berkontribusi pada derita PMI. Hasil evaluasi
              BP2MI menunjukkan, perusahaan pengerah PMI berlindung pada sedikitnya tiga izin. Mereka
              memanfaatkan  surat  izin  usaha  perekrutan  dan  penempatan  awak  kapal  dari  Kementerian
              Perhubungan, surat izin perusahaan penempatan peketja migran Indonesia dari Kementerian
              Ketenagakerjaan, dan surat izin usaha perusahaan dari Kementerian Perdagangan.

              "Ada 'bancakan' kewenangan karena kewenangan dipandang sebagai kue," kata Benny. Khusus
              untuk PMI kelautan, menurut Benny, ada tumpang tindih kewenangan antara Keme-naker dan
              Kemenhub.

              Perebutan kewenangan itu tak lepas dari perebutan anggaran. Meski tidak menyebut jumlah
              uang  yang  berputar  dalam  penempatan  ABK,  Benny  membenarkan  ada  yang  tidak  rela
              kewenangannya hilang karena bagi mereka itu berarti kehilangan anggaran.

              Tumpang tindih kewenangan salah satunya dipicu perbedaan tafsir soal status PMI kelautan.
              BP2MI  dan  Kemenaker  mengacu  pada  Undang-Undang  Nomor  18  Tahun  2018  tentang
              Perlindungan  PMI  yang  menetapkan  awak  kapal  ikan  termasuk  PMI.  Sebaliknya,  Kemenhub
              menilai pelaut bukan pekerja migran. "Dalam konvensi ILO C97 Article 11 dinyatakan bahwa
              pelaut  bukan  pekerja  migran,"  ujar  Direktur  Perkapalan  dan  Kepelautan  Direktorat  Jenderal
              Perhubungan Laut Kemenhub Capt Hermanta.


              Kini, sedikitnya ada tiga peraturan pelaksana terkait pemberangkatan PMI kelautan. Regulasi itu
              adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2019, Peraturan Menteri Kelautan
              dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2016, serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun
              2013. Sayangnya, semua aturan itu hanya menetapkan sanksi pencabutan izin. Tidak ada sanksi
              lebih berefek jera jika kewajiban dalam aturan-aturan itu tidak dijalankan.





                                                            9
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15