Page 31 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 25 NOVEMBER 2020
P. 31
ANCAMAN PHK DI BALIK KENAIKAN UMK
KEPUTUSAN untuk menaikkan besaran upah minimum untuk sebagian daerah di Jawa Barat
berpotensi menimbulkan masalah. Banyak perusahaan yang bakal dibuat sulit oleh pertambahan
biaya tetap. Satu-satunya jalan yang akan dipilih adalah mengurangi jumlah karyawan.
GUBERNUR Jawa Barat telah menerbitkan surat keputusan tentang upah minimum
kabupaten/kota (UMK) tahun 2021. Pada intinya, besaran UMK untuk 17 daerah dinaikkan,
sedangkan untuk 10 daerah lainnya diputuskan sama dengan tahun sebelumnya. Menurut
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kenaikan upah tersebut didasarkan pada pertimbangan laju
inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi di setiap daerah.
Masalahnya, keputusan tersebut terkesan bertolak belakang dengan pernyataan gubernur pada
awal November 2020 ini. Kalakian, Pemprov Jabar memutuskan untuk tidak menaikkan upah
minimum provinsi (UMP), sesuai dengan imbauan Menteri Tenaga Kerja. "Jadi, jangan
dibandingkan dengan provinsi lain yang industrinya lebih sedikit dibandingkan dengan Jawa
Barat. Kalau upahnya dinaikkan, kami khawatir akan ada banyak perusahaan yang mem-PHK
lagi. Dengan adanya PHK, pihak yang dirugikan justru kaum buruh juga. Jadi, saya mohon
pemahaman pengertian," begitu kata Gubernur Ridwan Kamil ("PR", Rabu 3/11/2020).
Wajar jika kemudian Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat merasa kecewa
terhadap keputusan untuk menaikkan UMK di 17 kabupaten/kota. Bahkan, asosiasi itu menilai,
para kepala daerah tak memiliki sense of crisis. "Kenaikan ini menunjukkan tak ada rasa ikut
prihatin, tidak ada kepekaan bahwa akibat Covid ini tekanan yang dirasakan luar biasa. Jangan-
jangan, para kepala daerah ini tidak memahami bagaimana sulitnya sekarang," ujar Ketua Dewan
Pertimbangan Apindo Jabar, Dedy Widjaja C'PR", Selasa 24/11/2020).
Kita sudah dihadapkan pada kenyataan bahwa Covid-19 telah menimbulkan daya rusak yang
begitu dahsyat di semua lini kehidupan. Dalam tiga bulan pertama, virus tersebut telah
memberikan dampak buruk terhadap lebih dari 3 juta warga Indonesia yang berstatus pekerja.
Merujuk data Kementerian Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan, terdapat sedikitnya
1.034.618 pekerja formal yang dirumahkan, 377.386 pekerja formal di-PHK, dan 316.501 pekerja
informal terdampak.
Selain itu, dampak pandemi juga terasa oleh para calon pekerja migran dan pekerja migran yang
terpaksa dipulangkan (34.644 orang), pekerja terdampak lainnya (5.547 jiwa), dan pekerja yang
datanya tidak lengkap (1.262.257 jiwa).
Tentu saja, angka itu akan semakin meningkat jika pandemi berkepanjangan. Kenyataan itu
berpotensi menyumbang angka cukup besar terhadap tingkat pengangguran terbuka.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik terbaru, jumlah angkatan kerja di Indonesia (per Februari
2020) mencapai 137,91 juta jiwa, di mana 6,88 juta (4,99%) di antaranya menganggur. Harus
dicatat, angka ini diperoleh sebelum pandemi Covid-19 melantak Indonesia. Sekadar
mengingatkan, pemerintah baru mengumumkan kasus pertama kehadiran virus itu di Indonesia
pada 2 Maret 2020.
Angka pengangguran pada Februari 2020 itu menurun cukup tajam dari kondisi pada Agustus
2019 yang masih berada di angka 7,05 juta jiwa (5,28%). Akan tetapi, karena pandemi, angka
pengangguran dapat kembali meningkat, bahkan dapat menembus angka 10% dari total
angkatan kerja, sebagaimana berlaku pada tahun 2005.
Khusus untuk Jawa Barat, berdasarkan informasi mutakhir, tak kurang dari 500 (dari total 2.000-
an) perusahaan telah mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan kerja selama pandemi
tahun ini. Celakanya, gelombang PHK terjadi di sektor manufaktur yang mendominasi industri di
Jabar. Kondisi inilah yang memaksa Pemprov Jabar memutuskan untuk tidak menaikkan UMP.
30