Page 212 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 23 DESEMBER 2020
P. 212

cenderung lebih buruk dan rentan. Misalnya, beban kerja semakin berat, pemotongan upah,
              tidak ada libur, dan sulit berkumpul (berorganisasi).
              Melansir data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Savitri mencatat beberapa kasus yang
              kerap  menimpa  buruh  migran  yakni  kekerasan  fisik,  penganiayaan,  pelecehan  seksual,
              pelanggaran atas kontrak kerja, eksploitasi ekonomi, perdagangan orang, hingga penghilangan
              nyawa secara paksa. Data Solidaritas Perempuan menunjukkan terjadi kekerasan fisik berlapis
              dialami buruh migran perempuan.

              Dari 63 kasus yang dilaporkan, ada 188 bentuk kekerasan yang dialami. Korban perdagangan
              orang  pada  umumnya  juga  mengalami  berbagai  bentuk  kekerasan  fisik  dan  penahanan
              dokumen.  “Pandemi  Covid-19  menyebabkan  buruh  migran  perempuan  semakin  rentan  dan
              terbatas mobilitasnya baik dalam mengakses kebutuhan setiap hari, mendampingi, dan bantuan
              hukum ketika mengalami kasus,” kata Savitri ketika dikonfirmasi, Senin (21/12/2020).

              Misalnya  penanganan  Covid-19  di  Sabah,  Malaysia,  dan  di  Indonesia  menurut  Savitri
              mengabaikan keselamatan dan HAM buruh migran Indonesia dan keluarganya. Buruh migran
              yang  tidak  memiliki  dokumen  mengalami  penahanan  berkepanjangan  atau  depo  imigrasi  di
              Sabah, Malaysia karena prosedurnya rumit. Pemulangan segera juga terhambat karena Gubernur
              Kalimantan Utara meminta otoritas Sabah untuk menunda deportasi dengan alasan tidak ada
              dana  untuk  menerima  deportan  dan  berdalih  minimnya  prosedur  penanganan  Covid-19  di
              perbatasan Nunukan.
              Savitri menilai pemerintah tidak melakukan langkah nyata untuk membenahi tata kelola migrasi.
              Padahal itu bisa dilakukan dengan menerbitkan seluruh peraturan turunan UU No.18 Tahun 2017
              tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan memastikan adanya afirmatif layanan bagi
              buruh migran Indonesia terutama yang bekerja di sektor rentan. Tapi pemerintah dan DPR malah
              mengesahkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang substansinya tidak berpihak pada
              buruh migran.

              Tidak sesuai prosedur
              Sekjen SBMI, Bobi Anwar, menyebut situasi yang dihadapi buruh migran Indonesia relatif gawat.
              Dia mencatat dari 643 kasus yang ditangani SBMI tahun 2020 ada 75,74 persen penempatan
              tidak  dilakukan  sesuai  prosedur.  Kasus  yang  dialami  kebanyakan  menimpa  buruh  migran
              perempuan  53,65  persen  dan  laki-laki  46,35  persen.  “Penempatan  tidak  sesuai  prosedur  itu
              kebanyakan dilakukan perseorangan (59,14 persen), dan sisanya 40,86 persen oleh P3MI dan
              perusahaan penempatan pelaut awak kapal.

              Ketua  Departemen  Buruh  Migran  KSBSI,  Yatini Sulistyowati,  menuturkan  10  Desember  2018
              Kementerian  Ketenagakerjaan  menerbitkan  Permenaker  No.18  Tahun  2018  tentang  Jaminan
              Sosial Pekerja Migran Indonesia. Saat ini buruh migran hanya dapat mengakses dua jaminan
              yakni Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Padahal kondisi buruh migran di negara
              tujuan  banyak  tidak  mendapatkan  asuransi  kesehatan  dan  akan  dikenakan  2 kali  lipat  biaya
              pengobatan jika rawat inap dan harus dibayar di muka, sehingga banyak buruh migran yang
              tidak mampu berobat di rumah sakit.

              Yatini melihat ada masalah dengan persyaratan klaim yang tergolong sulit bagi buruh migran
              karena  mereka  hanya  diberi  waktu  7  hari  kerja.  Selain  itu,  harus  melampirkan  nota  dari
              Perwakilan Negara RI, sedangkan jarak Perwakilan dengan keberadaan buruh migran belum
              tentu bisa di jangkau dalam waktu satu hari. “Belum lagi perwakilan sangat sulit memberikan
              nota yang dimaksud,” kata Yatini.

              JBM  mendesak  pemerintah  segera  menerbitkan  semua  peraturan  turunan  UU  PPMI  dan
              melibatkan para pihak yang berkepentingan, seperti buruh migran dan organsiasi yang fokus

                                                           211
   207   208   209   210   211   212   213   214