Page 37 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 JUNI 2021
P. 37

RUU PPRT disusun dengan tujuan sama, walau bobotnya jauh lebih ringan dari standar yang
              digariskan Konvensi ILO No 189. Selama 17 tahun diperjuangkan, draf terakhir adalah versi ke-
              11.  Sebelumnya  terus  diubah  untuk  mengakomodasi  masukan  DPR  yang  sering  lebih
              merepresentasikan kepentingan pemberi kerja di rumah tangga.

              Penolakan pemerintah dan DPR terhadap RUU PPRT adalah cermin pilihan sikap pembiaran dan
              keengganan negara untuk menghentikan tragedi penyiksaan dan eksploitasi terhadap para PRT
              yang masih berlangsung hingga kini.

              Artinya, negara menikmati surplus keringat para perempuan PRT yang mendukung penciptaan
              produktivitas nasional melalui para majikan mereka yang leluasa bekerja di wilayah publik.

              Dengan  hanya  mengandalkan  pemberitaan  dari  media,  Jala-PRT  (2021)  mencatat  dari  2012
              hingga 2020 terdapat rata-rata 457 kasus penyiksaan terhadap PRT per tahun, yang hampir
              seluruhnya dilakukan para majikan. Memasuki 2020 masa pandemi, kasus kekerasan terhadap
              PRT  melonjak  drastis  hingga  92  persen dari  467  kasus  di  2019  menjadi  897 kasus  di  2020,
              terutama karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan mendadak.

              Jala-PRT menengarai beberapa bentuk kekerasan yang dialami para PRT, misalnya tak diberi
              gaji,  penyekapan,  penyiksaan  fisik  ringan  hingga  yang  meninggalkan  kecacatan,  misalnya
              pemukulan dengan benda tajam dan tumpul, tak diberi makan, dipaksa makan kotoran, hingga
              penyetrikaan anggota badan. Pada 2015, masyarakat dikagetkan oleh kasus penyekapan dan
              penyiksaan tiga PRT di sebuah apartemen di Jakarta oleh oknum anggota DPR RI.

              Kasus lain yang lebih mengenaskan terjadi di 2016 berupa penyekapan dan penyiksaan oleh
              sepasang suami istri di Utan Kayu kepada empat PRT mereka selama sembilan tahun! Hingga
              April 2021, Jala-PRT sudah mencatat ada 641 kasus termasuk yang dialami seorang PRT (EAS)
              di Surabaya yang disiksa dan tak diberi makan majikannya yang berprofesi sebagai pengacara
              hingga berat badan korban tinggal 32 kilogram! Jala - PRT juga melaporkan bahwa ribuan kasus
              itu, sering berhenti di tangan Kepolisian, tak sampai Kejaksaan, apalagi pengadilan, sehingga
              keadilan bagi PRT ibarat jauh panggang dari api.
              RUU PPRT sebenarnya selalu masuk ke daftar program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2004,
              tetapi tidak pernah diprioritaskan untuk dibahas, sehingga sempurnalah penderitaan "wong cilik"
              perempuan  PRT  jika  kelak  di  penghujung  pemerintahan  Jokowi  2024,  RUU  PPRT  kembali
              dimentahkan.
              Relasi ekonomi bermartabat Kerancuan pendefinisian "P" dalam PRT sebagai "Pembantu" sudah
              diganti menjadi "Pekerja" supaya isu dapat difokuskan ke masalah relasi kerja. Relasi ekonomi
              ini harus diatur supaya sesuai dengan nilai keadilan dan saling menguntungkan bagi kedua belah
              pihak.

              Dalam  draf  terakhir  RUU,  dijelaskan  bahwa  "pekerja"  adalah  penerima  kerja,  pihak  yang
              menerima  upah.  Sehingga,  RUU  ini  tak  memasukkan  para  warga yang  "ngenger"  (numpang
              hidup), para santri di pondok pesantren, atau anak asuh sebagai obyek UU.
              Apakah  dimungkinkan  wilayah  privat  keluarga/rumah  tangga  diatur  UU?  Mungkin  sekali,
              misalnya UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
              yang sudah menjebol sakralisasi wilayah privat keluarga. Data menunjukkan bahwa keluarga
              bukan enklave yang steril dari tindakan-tindakan kriminal oleh dan kepada anggota keluarga.
              Keberadaan berbagai UU itu tak merusak lembaga keluarga, tetapi sebaliknya merupakan upaya
              penyelamatan agar nilai-nilai kemuliaan tetap hidup di dalam keluarga. Hal sama juga menjadi
              tujuan RUU PPRT, yaitu agar martabat kemanusiaan kedua pihak terjaga, karena kata Paulo
              Freire, baik penindas maupun yang ditindas sama- sama kehilangan martabat kemanusiaannya.

                                                           36
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42